WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 19 Februari 2012

demokrasi dan pemajuan HAM

A.   Demokrasi dan Pemajuan Hak Asasi Manusia

Perjuangan ke arah demokratisasi telah menandai berbagai peristiwa sosial dan politik di berbagai belahan dunia selama paruh kedua abad ke  20 yang lalu. Memasuki millennium baru di abad 21 ini, tuntutan demokratisasi ini semakin nyaring disuarakan oleh para pecinta kemanusiaan, keadilan dan perdamaian. Sebuah perjuangan panjang yang sekaligus merupakan proses belajar bagi bangsa-bangsa tersebut untuk semakin dewasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Faisal Siagian, perjuangan menegakkan demokrasi harus memiliki salah satu tujuan utamanya ialah pembentukan masyarakat politik yang demokratis, termasuk di sini pemilihan kepala daerah secara fair dan demokratis melalui mekanisme persaingan secara wajar, sehingga proses politik setelah pemilihan itu masyarakat berada dalam keadaan suasana damai, teratur dan stabil. Demokrasi dapat berkembang bukan hanya karena adanya kepemimpinan yang demokratis saja, melainkan juga karena tingginya partisipasi masyarakat dalam sistem politik nasional dan lokal. (Faisal Siagian, 1995, p.132)

Setidaknya ada tiga ciri dalam suatu sistem pemerintahan yang Demokratis, yaitu : 1- persaingan yang ekstensif untuk menduduki posisi-posisi politis negara melalui pemilihan yang teratur, bebas dan adil; 2- adanya akses untuk partisipasi politik yang menyeluruh sehingga tidak seorang dewasa pun yang tidak dicakupnya; 3- kebebasan pers, kebebasan berserikat dan ditegakkannya hukum, yang cukup untuk menjamin bahwa persaingan dan partisipasi politik tersebut menjadi bermakna dan otentik (Larry Diamond, 1994, p. 10).

Dalam perkembangan pemikiran maupun praktek demokrasi di berabagai negara di dunia, telah berkembang berbagai bentuk demokrasi, seperti demokrasi langsung, demokrasi perwakilan, demokrasi konstitusional, demokrasi liberal, demokrasi kapitalis, demokrasi sosial dll.. Namun apapun atribut yang dilekatkan kepada demokrasi, menurut Mangadar Situmorang, yang paling penting diperhatikan adalah bahwa ide-ide dan eksperimen-eksperimen politik tersebut menegaskan adanya sejumlah kriteria universal bagi demokrasi. Kriteria-kriteria tersebut antara lain :

1-       Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan;
2-       Adanya kebebasan berpendapat, berusaha, dan hak milik;
3-       Adanya rule of law yang disepakati dan ditaati oleh setiap lapisan masyarakat, termasuk oleh pemerintah. Hukum harus membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi hak-hak rakyat;
4-       Adanya distribusi dan pergantian kekuasaan secara damai. (Mangadar Situmorang, 1995, p. 166)


Dalam kaitan antara demokrasi, desentralisasi dan otonomi, salah satu pendekatan mutakhir dalam ilmu politik yang mampu membedah perlunya demokratisasi, desentralisasi dan otonomi, termasuk di dalamnya persoalan pemilihan Kepala Daerah, menurut Faisal Siagian, adalah “pendekatan hubungan negara dan masyarakat” (state and society realtions approach).

Menurut pendekatan ini, masyarakat madani (civil society) adalah suatu bidang dalam hidup bermasyarakat yang terletak di antara keluarga per orang pada satu pihak dalam kehidupan bernegara, dan proses pemilihan untuk menetapkan siapa yang memerintah negara pada pihak lainnya. Alfred Stephen, merumuskan masyarakat madani (civil society) sebagai berikut : “Civil society ” adalah arena tempat beradanya gerakan sosial (seperti perhimpunan wanita, kelompok-kelompok agama, organisasi profesi dll) dan organisasi kemasyarakatan dari pelbagai golongan dan kelompok profesi (seperti perhimpunan ahli hukum, persatuan wartawan, serikat buruh, asosiasi pengusaha dll), yang mencoba membentuk diri mereka dalam suatu keteraturan supaya mereka dapat menyatakan dirinya dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya (Alfred Stepan, 1988, p. 3-4)

Penguatan masyarakat madani ini merupakan prasyarat bagi pelaksanaan demokratisasi, desentralisasi dan otonomi daerah, misalnya penguatan gerakan-gerakan, lembaga-lembaga, organisasi-organisasi masyarakat yang bersifat otonom di daerah, yang mengarahkan kegiatnnya terhadap pemerintah sebagai cara untuk menyalurkan aspirasi dan pilihan-pilihan mereka demi menandingi pilihan dan aspirasi yang dipaksakan oleh pemerintah kepada mereka.

Menurut catatan Faisal Siagian, telah terjadi berbagai perkembangan yang menarik dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia akhir-akhir ini, yang antara lain disebabkan oleh :

1-        Desakan Demokratisasi. Adanya desakan demokratisasi di tingkat pusat yang kemudian merambah ke tingkat daerah. Munculnya tuntutan demokratisasi bagi pemilihan beberapa Kepala Daerah di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh munculnya arus bawah.
2-       Aspirasi dari bawah. Aspirasi dari bawah dapat berupa tuntutan dan dukungan. Aspirasi dari bawah sudah menjaditrade mark  yang tidak bisa dinafikan. Apabila dinafikan justru akan menambah gejolak di daerah.
3-       Political appeal.Political appeal adalah kiat politik daerah untuk menarik perhatian pemerinrtah pusat. Tekanan atau desakan demokratisasi dari perspektif regional menyangkut geopolitik daerah. Daerah-daerah yang realtif terpencil biasanya suka membuat move untuk menarik perhatian pusat.
4-       Pluralisme politik. Munculnya pluralisme politik di daerah adalah inheren dengan demokratisasi dalam pemilihan Kepala Daerah. Berbagai macam unjuk rasa merupakan cerminan dari pluralisme politik lokal itu. (Faisal Siagian, opcit, p.129).

Selanjutnya, di samping masalah demokratisasi, maka faktor lain yang turut mempengaruhi proses desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah berupa keterbukaan di tingkat lokal. Keterbukaan idi tingkat lokal tersebut mempunyai tiga makna penting :

a-       Terbukanya kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk secara bebas mengritik kebijakan pemerintah pusat kepada daerah, termasuk kritik terhadap pola kebijakan pembangunan di daerah.
b-       Terbukanya kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk berbeda pendapat dengan pemerintah pusat, perbedaan mana harus diakomodasikan oleh pemerintah pusat dengan menyerap aspirasi daerah.
c-       Terbukanya kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk menolak Kepala Daerah yang kurang berkenan dengan aspirasi daerah. (ibid)


Demokrasi tidak hanya berarti hak memilih anggota DPR dan pemerintah, meskipun ini juga hal yang penting. Demokrasi merupakan kesuluruhan bentuk hak yang harus dimiliki warga negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapar dipercaya dan partisipatif. Hak-hak itu meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, misalnya serikat buruh atau kelompok penekan; akses kepada informasi, khususnya mengenai renacana pemerintah terutama bagi mereka yang terkena secara langsung dan hak untuk diajak berbicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras maupun warna kulit.

Gerakan wanita telah mengikis banyak kendala yang melingkupi setengah umat manusia yang berada dalam status inferior. Gerakan lingkungan hidup telah emaksa para pemimpin politik dan bisnis untuk kembali melihat sumber daya alam dengan penglihatan baru. Dan kampanye di banyak negara oleh suku-suku yang ternacam dengan adanya “pembangunan” dan “kemajuan” , telah membawa para penduduk asli menjadi sorotan. (John Clark, 1995, p. 18)


3- Perkembangan Upaya Perlindungan terhadap Hak-hal Asasi Manusia dalam Masyarakat yang Beradab

Sebelum dunia memiliki Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, para pendiri Republik Indonesia (founding fathers) sudah menyadari pentingnya HAM sebagai konsep yang mendasari suatu negara. Pada waktu menysun UUD 19945, telah terjadi perdebatan mengenai hal ini, teruatama antara Bung Karno, yang didukung oleh Supomo sebagai arsitek utama UUD, dengan Bung Hatta dan Muhammad Yamin. Keempat tokoh ini pada umumnya sepakat mengenai konsep negara. Tetapi Bung Karno dan Supomo berpendapat bahwa HAM, yang berasal dari ideologi liberalisme,  karena itu intinya adalah individualisme, tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal UUD. Sebaliknya, Bung Hatta dan Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dan tulisan, untuk menjamin agar negara tidak terjerumus ke dalam konsep negara kekuasaan. Pada akhirnya pandangan Bung Hatta dan Yamin diterima, tetapi dengan kompromi, yaitu dengan dicantumkannya kalimat “diatur oleh undang-undang”.

Menurut Bung Hatta, UUD 1945 memuat ide HAM dalam Pantjasila dan beberapa pasal mengenai hak asasi warga negara. Sila ke 4, Kerakyatan, mencerminkan HAM di bidang politik, sedangkan sila ke 5, Keadilan sosial, berisikan dimensi ekonomi dari HAM. Bung Hatta juga menjelaskan bahwa pengertian HAM secara lebih mendasar dirumuskan dengan istilah lain, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang selanjutnya berakar pada sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Beberapa pasal dalam batang tubuh UUD 1945, menurut Hatta, adalah eksplisitasi dari prinsip HAM, yaitu :

1-       Pasal 27, tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
2-       Pasal 28, tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dan tulisan;
3-       Pasal 29, tentang kemerdekaan tiap-tiap penduduk, untuk memeluk agamanya masing-masing;
4-       Pasal 30, tentang hak dan kuwajiban ikut serta dalam usaha pembelaan negara;
5-       Pasal 31, tentang hak mendapat pengajaran; dan
6-       Pasal 34, tentang hak fakir miskin dan anak-anak yang terlantar untuk dipelihara oleh negara.

Sebenarnya, menurut M. Dawam Rahardjo, masih dapat ditambahkan Pasal 32, yang berbunyi “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, dan padal 36 yang berbunyi “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia, yang mengandung makna HAM, apabila dilihat pada penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban membina kebudayaan-kebudayaan, termasuk bahasa-bahasa daerah yang terarah kepada pembentukan kebudayaan nasional. (M.Dawam Rahardjo 1992, p. 47)

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, kedudukan pribadi manusia memperoleh pengakuan yang lebih luas dan kokoh dalam hubungan internasional. Piagam PBB memuat tiga gagasan utama, yaitu hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, hak asasi manusia, dan gagasan tentang perdamaian. Penerimaan piagam PBB berarti telah diberikan bentuk dan kehidupan kepada ideologi hak-hak asasi manusia dan ideologi penentuan nasib sendiri. Stelah melalui perdebatan yang panjang di antara anggota-anggota PBB terutama antara anggota-anggota PBB , terutama antara Blok Barat dan Blok Sosialis, akhirnya pada 1948 diproklamirkan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia.Deklarasi ini didirikan di atas empat tonggak utama :

1-       Hak-hak pribadi, antara lain, hak persamaan, hak hidup, kebebasan, keamanan dan sebagainya, yang termuat dalam pasal 3 sd. 11;
2-       Hak-hak yang dimiliki oleh individu dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok sosial di mana ia ikut serta, yaitu hak kerahasiaan kehidupan keluarga dan hak untuk menikah; kebebasan bergerak di dalam atau di luar negara nasional; untuk memiliki kewarganegaraan; untuk mencari mencari tempat suaka dalam keadaan adanya penindasan; hak-hak untuk mempunyai hak milik dan untuk melaksanakan agama, yang semuanya diatur dalam pasal 12 sd. 17;
3-       Hak dan kebebasan sipil dan hak-hak politik yang dijalankan untuk memberikan kontribusi bagi pemebntukan instansi-instansi pemerintahan atau ikut serta dalam proses pembuatan keputusan, yang meliputi kebebasan berkesadaran, berpikir dan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, hak memilih dan dipilih, hak untuk menghubungi pemerintah dan badan-badan pemerintahan umum, diatur dalam pasal 18 sd. Pasal 21;
4-       Hak-hak ekonomi dan sosial, yaitu hak-hak dalam bidang hubungan-hubungan perburuhan, produksi dan pendidikan; hak untuk bekerja dan mendapatkan jaminan sosial dan hak untuk memilih pekerjaan dengan bebas, untuk mendapatkan upah yang sama atas kerja yang sama, hak untuk membentuk dan ikut serta dalam serikat-serikat buruh, hak untuk beristirahat dan bersenang-senang, memperoleh jaminan kesehatan, pendidikan dan hak untuk ikut serta secara bebas dalam kehidupan budaya masyarakat, yang diatur dalam pasal 22 sd. Pasal 27.

Pada tahun 1966 PBB mengesahkan dua kovenan internasional untuk Hak-hak Asasi Manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak ekonomi, Sosial, Budaya yang secara moral dan politik mengikat negara-negara anggota PBB. Ketiga dokumen tersebut dapat dikatakan merupakan perangkat normatif internasional Hak-hak Asasi manusia yang setiap negara anggota PBB diminta, bahkan disesak oleh masyarakat dunia untuk mematuhinya. (A. Hakim G. Nusantara, dalam Antonio Cassesse, 1994, p xxi)



0 komentar:

Posting Komentar