WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 19 Februari 2012

penegakan HAM 1

Penegakan ham
Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep kontrak sosialnya thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Hak Asasi Manusia (HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa (raja). Namur dalam perkembangannya HAM bukan lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.
Tonggak sejarah peradilan HAM internasional adalah peradilan Nurembeg[1] yang dilakukan terhadap Hermann W. Goering (Pejabat Nazi) yang terjadi pada tahun 1946. Selain menegaskan prinsip pertanggungjawaban individu, Mahkamah Nuremberg juga memperkenalkan kategori-kategori kejahatan yang relatif baru, seperti kejahatan terhadap perdamaian (Crime against peace), kejahatan perang (War Crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against humanity). Puncaknya pada saat Mahkamah Pidana Internasional yang disebut International Criminal Court (ICC) yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.
Penegakan hukum pidana internasional mempunyai dua system, yaitu system penegakan hukum langsung (direct law enforcement) dan sitem penegakan hukum tidak langsung (indirect law enforcement). Dalam praktek system penegakan hukum langsung telah dilaksanakan olh beberapa Mahkamah Internasional ad hoc, seperti Nuremberg Trial, Tokyo Trial, hingga ICTY dan ICTR. Sejak 1 Juli 2002 didirikan ICC . Sementara penegakan hukum tidak langsung, dilakukan oleh pengadilan nasional tempat tindak pidana terjadi atau pengadilan lain yang mempunyai yurisdiksi atas tindak pidana yang terjadi.[2]
Berbagai instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) internasional secara normatif telah mewajibkan negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM bagi setiap individu. Kendati demikian, keberadaan instrumen tersebut tidak secara otomatis dapat mengakhiri maupun mencegah pelanggaran berat HAM di berbagai negara, sebagaimana dikatakan Dinah Shelton seperti disitir Andrey Sujatmoko[3]: “there are close to one hundred human rights treaties adopted globally and regionally.Nearly all states are parties to some of them and several human rights norms have become part of customary international law.Yet, like all law, human rights law is violated. It as not ended governmental oppression and by itself cannot prevent or remedy all human rights abuses.”
Puncaknya setelah perang Dunia ke II PBB dalam sidang umum tanggal 10 Desember 1948 dikeluarkan pernyataan umum tentang HAM, yang disebut The Universal Deklaration of Human Rights tentang prinsip-prinsip HAM yang harus dihormati dan ditaati oleh seluruh negara anggota PBB. Atas dasar itulah kemudian setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari HAM Internasional. Konsep tersebut dilandasi buah pikiran Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt, yang mengemukakan empat kebebasan dasar manusia (the tour freedom of Roosevert)[4]yaitu:
1. Kebebasan untuk berbicara (freedom of speach);
2. Kebebasan beragama (freedom of religion);
3. Kebebasan dari kemiskinan dan kemelaratan (freedom from want);
4. Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).
Dalam perkembangan selanjutnya banyak bermunculan berbagai kovenan atau konvensi yang mengatur tentang HAM, di antaranya: The International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights(Kovenan Internasional tentang hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya) tanggal 16 Desember 1966 (yang berlaku tanggal 3 januari 1976) dan The International Covenantion in civil and political rights (Konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik) tanggal 16 Desember 1966 (yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1976), dan lain sebagainya.
Realitas sosial berbagai kasus pelanggaran berat HAM, penyelesaiannya seringkali tidak berpihak kepada korban, sebaliknya penyelesaiannya dilakukan justru untuk melindungi pelaku, seperti pemberian amnesty yang dilakukan oleh para penguasa militer di Argentina dan Chili pada tahun 1970-an. Akhirnya pemerintah Chili membentuk Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi Chili. Untuk kasus Argentina, pelanggaran HAM berat terjadi pada masa berlangsung perang kotor tahun 1976 – 1983, di mana pihak militer mengambil alih pemerintahan dan kemudian melakukan tindakan represif yang diberi julukan sebagai guerra sucia (istilah yang diberikan untuk angkatan bersenjata yang melakukan praktek-praktek penghilangan terhadap orang-orang yang diduga sebagai komunis atau pemberontak.[5] Pada akhirnya pemerintah Argentina membentuk Komisi Kebenaran yang diberi nama Komisi Nasional Untuk Orang Hilang.
Walaupun telah dilakukan berbagai upaya yang mengatur prinsip-prinsip HAM, namun pembatasan dan pelanggaran terhadap HAM terus terjadi. Kasus-kasus pelanggaran berat HAM menyangkut genosida dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di bekas negara Yugoslavia dan Rwanda. Di Bosnia-Herzegovina antara tahun 1991 – 1995 tercatat 20.000 orang hilang sebagai akibat operasi pembersih etnis yang dilakukan oleh kelompok-kelompok para militer Serbia. Hal ini juga menyebabkan Mahkamah Internasional di Rwanda dibentuk, karena sistem peradilan pidana nasional dan infrastruktur di negara tersebut tidak berfungsi secara efektif, sebahagian besar hakim dan jaksa telah dibunuh, diasingkan atau dipenjara. Penyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di bekas Yugoslavia dan Rwanda dilakukan melalui keterlibatan dari Dewan Keamanan PBB.
Dari fenomena kasus-kasus di atas, terlihat bahwa PBB khususnya melalui Dewan Keamanan PBB memiliki peranan yang penting dalam menangani pelanggaran berat HAM yang terjadi di berbagai negara. Dewan Keamanan PBB adalah organ utama di PBB, yang tidak jarang digunakan oleh negara-negara pemegang hak veto untuk memaksakan kepentingan politiknya, terbukti memiliki peran yangpenting dalam menangani masalah pelanggaran berat HAM, seperti misalnya pembentukan 2 (dua) Mahkamah Internasional ad hoc di bekas Yugoslavia dan Rwanda.
Untuk kasus Indonesia, pelanggaran HAM berat yang melibatkan Dewan Keamanan PBB, salah satunyaadalah persoalan kekerasan di Timor-Timur. Kekerasan tersebut terjadi setelah Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa depan Tim Tim, yaitu menerima atau menolak otonomi khusus melalui jajak pendapat. Pada tanggal 15 September 1999 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1264, mengutuk tindakan kekerasan sesuai jajak pendapat dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengadili sendiri mereka-mereka yang dianggapbertanggungjawab atas terjadinya kekerasan tersebut. Desakan itu kemudian melahirkan undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai upaya menangani kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Indonesia telah membentuk Pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus pelanggaran berat HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[6] Selain itu pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran berat HAM.[7]Di samping itu telah diatur pula tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran berat HAM[8].
Yurisdiksi atau kompetensi absolut dari pengadilan HAM Indonesia sama dengan yurisdiksi Mahkamah Internasional, adalah kejahatan genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 26 Tahun 2000). Akan tetapi pengadilan HAM tidak berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan seorang anak yang berumur di bawah 18 tahun. Kalaupun anak yang bersangkutan melakukan kejahatan genocida dan kejahatan kemanusian, tetap diadili oleh Pengadilan Negeri dan didasari KUHP dan KUHAP.
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC)[9] pelaku pelanggaran HAM dapat diadili. Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah [10]:
1. Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;
2. Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;
3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;
4. Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan.
Di Indonesia proses pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berada di lingkungan peradilan umum. Pengadilan HAM bukan merupakan peradilan yang berdiri sendiri, karena Pasal 24 UUD 1945 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa hanya ada empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, Agama, Militer dan Tata Usaha Negara. Seyogyanya Pengadilan HAM berdiri sendiri, karena sifatnya yang spesifik khusus kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Maka sudah barang tentu ketentuan Pasal 24 UUD 1945 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus diamandemen.
Pembentukan UU Nomor 26 Tahun 2000[11] tentang Pengadilan HAM didasarkan pada ketentuan Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sedangkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tersebut dibentuk berdasarkan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Menurut Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, yang berwenang untuk mengadili kasus pelanggaran berat HAM adalah Pengadilan HAM dan berada di bawah Pengadilan Umum. Penulis berpendapat pelanggaran HAM adalah merupakan extra ordinary crime, suatu kejahatan yang luar biasa yang merupakan penindasan dan pemusnahan terhadap hak-hak asasi setiap orang oleh sesuatu kekuasaan. Oleh karena itu proses penegakan hukumnya juga harus luar biasa, karenanya posisi Peradilan HAM tidak boleh berada di bawah lingkup Peradilan Umum.
Peradilan HAM harus berdiri sendiri (independen) sejajar dengan Mahkamah Agung, karena yang akan diadili dalam pengadilan HAM tersebut adalah Para Penguasa, para Pembuat Kebijakan yang melakukan penindasan terhadap kemanusiaan. Jika Peradilan HAM masih berada di bawah Peradilan Umum, maka yang terjadi adalah “pembodohan hukum”. Ibarat makan buah simalakama, tidak dimakan bapak mati jika dimakan ibu mati, akhirnya banyak kasus-kasus pelanggaran berat haM terkatung-katung dan raib tanpa ujung. Kebijakan menempatkan pengadilan HAM berada di bawah lingkup pengadilan umum, menurut hemat Penulis, sama saja artinya kita memandang pelanggaran HAM sebagai kejahatan biasa seperti pembunuhan, pencurian, pengaiayaan dan sebagainya).
Jika, dicermati dengan seksama asas-asas yang termaktub dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu:
1. Hanya mengadili pelanggaran HAM berat.
2. Kejahatan universal. Pengadilan HAM berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial RI oleh warga negara Indonesia.
3. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja yang diadili oleh Pengadilan HAM.
4. Jaksa Agung adalah penyidik dan penuntut umum.
5. Dalam pengadilan HAM dikenal penyidik Ad Hoc, Penuntut Ad Hoc dan hakim Ad Hoc.
6. Pemeriksaan banding, kasasi, limitatif paling lama 90 hari.
7. Dilindungi korban dan saksi.
8. Dikenal kompensasi, restitusi dan rehabilitasi korban.
9. Ancaman hukuman diperberat.
10. Adanya tanggungjawab komandan dan atasan terhadap pelanggaran HAM berat oleh bawahannya.
11. Penerapan asas retroaktif, dimana terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU pengadilan HAM, diadili oleh pengadilan HAM Ad Hoc.
12. Tidak dikenal daluwarsa.
13. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komisi Nasional HAM (KOMNAS HAM).
14. Tidak ada kewenangan ANKUM dan perwira penyerah perkara dalam kasus pelanggaran HAM berat.
Dengan asas-asas tersbut bukankah sudah mencerminkan kemandirian dari Peradilan HAM…? lalu kenapa harus dipolitisir bahwa Peradilan HAM harus beradai di bawah Lingkup Peradilan Umum …? Bisakah Peradilan HAM bebas dan mandiri dalam melakukan proses penegakan hukum HAM jika masih harus bertanggungjawab secara struktural kepada lingkup Peradilan Umum, bukankah ini merupakan jalan panjang dan melelahkan untuk sampai pada proses peradilan HAM yang fair dan manusiawi…? Begitu panjangnya jalan yang harus ditempuh, hingga akhirnya korban pencari keadilan pasrah dan menyerahkan nasibnya pada takdir. Kalau ada sebuah lembaga yang bernama KOMNAS HAM yang bertugas mencari fakta dan menemukan ada tidaknya pelanggaran HAM dalam kasus-kasus yang diduga telah terjadi pelanggaran berat HAM. Toh, kalau akhirnya harus diadili dengan sebuah peradilan di bawa lingkup pengadilan umum, maka hasilnya “Jeruk makan jeruk” dan nothing dapat mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan apalagi perlindungan dan kesejahteraan bagi korban kejahatan HAM.
Sesungguhnya tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan HAM menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM. Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran berat HAM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 meliputi kejahatan genocida[12] dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[13] Sedangkan hukum acara yang digunakan dalam persidangan adalah KUHAP seperti yang diatur dalam Pasal 10 Undang-undang tersebut. Akan tetapi di sini Penulis melihat ada yang rancu dalam proses penegakan hukumnya, yaitu seperti misalnya: proses peradilan HAM di Timor Timur dalam penegakan hukumnya ternyata memerlukan dua buah Keppres, yaitu: Keppres Nomor 53 Tahun 2001 dan Keppres Nomor 96 Tahun 2001. Keppres Nomor 53 Tahun 2001 oleh pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu itu dipersempit dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2001 dan yurisdiksi ditetapkan menjadi tiga wilayah, yaitu Liquica, Dili dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April dan September 1999. Konsekwensi dari Keppres tersebut tidak semua kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Timor-Timur dapat diungkap, termasuk para pelakunya. Bukankah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri mengandung unsur pelanggaran berat HAM…? Mencermati kasus tersebut, tergambar bahwa ada keinginan atau keberpihakan untuk menutupi dan melindungi kejahatan pelanggaran HAM berat tersebut. Namun Penulis melihat ada ”celah atau ruang” yang memberi tempat dalam proses penegakan hukum yang dapat disimpangi. Celah tersebut, terletak pada Keprres yang dikeluarkan pemerintah baru kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur dapat diproses meskipun tidak semua terusut tuntas. Bukankah kalau kita konsisten dengan Konstitusi UUD 45 lembaga yudikatif adalah independen dan merdeka dari pengaruh dan ikut campur pihak manapun?! Tapi faktanya lembaga eksekutif telah dan hampir di setiap ruang lembaga yudikatif ikut masuk dan menyelinap ke dalam ranah yudikatif.
Pada akhirnya proses peradilan terhadap pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Putusan Kasasi Mahkamah Agung membebaskan 5 (lima) terdakwa, di antaranya adalah mantan Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur Timbul Silaen, Letkol Asep Kuswani (Komandan Kodim 1638 Liquisa), Leoneto Martins (Bupati Liquisa), dan Gubernur Timor Timut Abilio Soares.[14]
Jika dalam kasus tersebut Terdakwa tidak terbukti bersalah, lantas salah siapa….? pelaku mana yang dapat dijerat sebagai pelaku pelanggaran berat HAM di Timor Timur…? Bukankah pelanggaran HAM adalah tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan terhadap manusia yang tidak memiliki kekuasaan, dengan kata lain penindasan oleh penguasa terhadap rakyatnya adalah pelanggaran HAM. Lalu bagaimana dengan para korban, para isteri yang menjadi janda setelah ditinggal mati oleh suaminya, para ibu yang kehilangan anaknya, para adik, kakak, yang kehilangan saudaranya, belum lagi kerugian harta benda dari mereka, terlebih trauma yang mereka alami yang seumur hidupnya akan selalui menghantui, bisakah dihapuskan dengan keputusan yang tidak memberi makna keadilan, kepastian dan kemanfaatan dalam bentuk apapun…?
Padahal menurut Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 bahwa Pemberian konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran berat HAM seharusnya diumumkan dalam putusan hakim. Namun dalam putusan perkara pelanggaran berat HAM di Timor Timur tersebut tidak satupun yang mencantumkannya dalam amar putusan tentang pemberian konpensasi, restitusi ataupun rehabilitasi. Sangat disayangkan di negeri yang mengatasnamakan hukum sebagai dasar konstitusionalnya, yang seyogyanya mengormati noma-norma HAM sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dengan hukum, justru menjadi “negara paling korup dalam bentuk pelanggaran HAM”.
Merenungi proses penegakan hukum kasus Timor Timur melalui putusan tahap awal, seluruh majelis hakim telah memutuskan telah terjadi pelanggaran berat HAM. Seharusnya Mahkamah Agung melalui keputusannya memuat amar tentang pemberian dan perlindungan hak korban dalam hal konpensasi, restitusi dan sebagainya. Tidak dicantumkannya pemberian hak korban atas kompensasi ini sangat mengherankan. Masyarakat pencari keadilan (korban pelanggaran HAM berat) mengapai keadilan melalui lembaga peradilan yang diyakini sebagai benteng terakhir setidaknya dapat memberikan harapan bahwa setiap kejahatan tidak punya tempat di muka bumi, tetapi justru mendapat ketidakadilan bahkan lebih radikal berupa penindasan. Menurut Penulis telah terjadi “devian behavior” dan itu berarti mematikan hak-hak korban atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang seharusnya diterima oleh korban. Berkaitan dengan penerapan prinsip tanggungjawab Negara khususnya terhadap penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur, dengan membentuk pengadilan HAM ad hoc, secara substansial banyak menunjukan kelemahan, antara lain dari istrumen hukum, sumber daya manusia dan penegakan hukum.
Belajar dari kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur. Sejak tahun 1975 Timor Timur sebagai salah satu Propinsi di Negara Indonesia telah menjadi wilayah dalam pengawasan PBB, karena konflik bersejanta dari kelompok yang bertikai yang berkepanjangan di wilayah tersebut. Dengan masuknya wilayah tersebut ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak membuat persoalan selesai, karena sepanjang tahun 1975 hingga 1999 sudah ada lebih kurang 19 macam “mekanisme kerja” lembaga-lembaga PBB, mulai dari Resolusi Dewan Keamanan PBB, UNHCR, Commissioner on Human Rights, hingga Majelis Umum.[15] Ketika gerakan reformasi melanda Indonesia, pemerintah menawarkan dua opsi untuk menyelesaikan masalah Timor Timur, yang pertama adalah otonomi khusus yang sedang dalam pengkajian dan persiapan pelaksanaannya. Ketika situasi politik saat itu berkembang sedemikian rupa, sehingga pemerintah mengeluarkan opsi kedua pada tanggal 27 Januari 1999, yaitu Jajak Pendapat. Opsi kedua ini melibatkan dunia internasional dalam pelaksanaannya, yaitu UNAMET yang dibentuk oleh PBB. Dalam perjanjian yang dibuat di New York (New York Agreement) disepakati bahwa pelaksanaan jajak pendapat dilakukan oleh lembaga internasional tersebut, sementara pemerintah Indonesia akan bertanggungjawab untuk menjaga keamanan dan perdamaian di Timor Timur agar jajak pendapat dilaksanakan secara adil dan damai, dengan suasana yang bebas dari intimidasi, kekerasan dan campur tangan pihak manapun. Dengan jajak pendapat tersebut masyarakat Timor Timur terbelah menjadi dua, yaitu masyarakat pro kemerdekaan dan pro otonomi khusus.
Pemerintah Indonesia melalui Pemda Timor Timur berikut dengan jajaran aparat keamanannya menetapkan kebijakan membentuk organisasi politik guna menampung aspirasi masyarakat Timor Timur.Akibatnya dengan adanya dua kubu pro dan kontra terjadi pertikaian dan seringkali dilakukan dengan kekerasan. Dalam beberapa peristiwa telah jatuh korban jiwa, baik meninggal maupun luka-luka atau korban harta benda dalam bentuk hancurnya bangunan rumah, gedung perkantoran, rumah ibadah dan lain-lain. Dalam berbagai peristiwa tersebut para anggota TNI dan Kepolisian RI hadir untuk melakukan pengamanan, tapi tidak mampu melindungi pihak yang terancam, bahkan tidak mampu mencegah massa yang melakukan kekerasan dan penganiayaan tersebut. Aparat keamanan dalam berbagai peristiwa tersebut terkesan membiarkan peristiwa itu terjadi. Hingga akhirnya Gubernur Timor Timur Abilio Soares melalui Pengadilan HAM Ad Hoc dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara.
Dari kasus tersebut ada dua isu hukum yang hangat diperbincang para ahli hukum dan pemerhati HAM, yaitu penerapan asas retroaktif dan adakah dasar yang dapat menjadi sandaran bagi penetapan pertanggungjawaban pidana terdakwa sebagai pertanggungjawaban komandan atas tindakan yang dilakukan bawahannya?
Dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa asas retroaktif dibenarkan dalam kasus-kasus yang bersifatextra ordinary crime. Karena pelanggarat berat HAM adalah extra ordinary crime, maka HAM yang menurut Pasal 28 i UUD 1945 tidak boleh dikurangi olh siapapun, khusus untuk pelaku pelanggaran HAM hak tersebut harus dibatasi demi tegaknya penghormatan HAM itu sendiri. Hak yang sama juga diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti Deklarasi Human Rights, dalam Pasal 11 dan Internacional Covenant on Civil and Political Rights dalam Pasal 15 ayat (2). Hal ini menunjukan bahwa asas legalitas tidak berlaku mutlak dalam proses peradilan HAM, dengan kata lain asas retroaktif dapat diberlakukan, dengan pertimbangan moral, kepentingan dan ketertiban umum. Roscoe Pound mengatakan bahwa di dalam hukum terdapat nilai moral, demikian juga dengan Teori Hukum Kodrat Thomas Aqinas yang mengembangkan dasar moral dan hukum,[16] kenyataannya selama dua rezim otoriter dan demokrasi silih berganti di Indonesia, tetap saja berbagai peristiwa semakin menimbulkan ketidak pastian hukum dalam kebijakan Publik.
Terhadap isu kedua mengenai pertanggungjawaban komandan/superior dalam kasus Timor Timur, Penulis berpendapat komandan tidak serta merta dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan bawahannya, hanya karena terbukti ada hubungan atasan bawahan atau dia mengetahui tapi tidak berbuat untuk mencegah. Menurut Penulis harus dilihat per kasuistis, apakah dalam kasus tersebut kondisi atau situasi pada saat kejahatan (pelanggaran berat HAM) terjadi, komandan yang bersangkutan masih mempunyai kemampuan untuk mencegah atau tidak. Kalau ternyata ia mampu mencegah tetapi tidak dilakukannya, maka pertanggungjawaban dapat dimintakan kepadanya. Tetapi jika perbuatan tersebt benar-benar tanpa sepengetahuan dan di luar kontrol dari yang bersangkutan, maka pebuatan tersebut menjadi tanggungjawab pelaku yang bersangkutan. Ada kriteria untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atasan dalam kasus pelanggaran HAM, sebagaimana dikatakan Nico Keyzer sebagaimana disitir Shinta Agustina, mengatakan bahwa: ada 3 kondisi bagi pertanggungjawaban komandan atas perbuatan bawahannya, yaitu:
1. Sesorangan mempunyai control atas orang lain;
2. Seseorang hanya bertanggungjawab karena tidak melakukan pencegahan kejahatan yang diketahuinya;
3. Seseorang tidak harus tahu, tetapi juga harus mampu untuk mencegah.[17]
Kerancuan di Indonesia adalah “keliru” memahami konsep HAM sebagaimana dicetuskan dalam Deklarasi Human Rights, bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa terhadap individu atau kelompok yang ada di bawah kekuasaannya. Tetapi Undang-undang HAM Indonesia sebagai bentuk ratifikasi terhadap HAM internasional yang berlaku universal (UU Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (6) memandang pelanggaran HAM tak ubahnya pelaku tindak pidana biasa, seperti perampokan, pembunuhan, pencurian dan sebagainya.
Jika dulu pada masa orde baru hukum dijadikan sebagai alat rekayasa sosial untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan pemerintah (eksekutif), maka pada masa reformasi dan pasca reformasi hukum dipahami dan dipandang sebagai legalitas dari kompromi kelompok-kelompok kepentingan (legislatif). Dengan demikian orde reformasi telah menjadikan hukum sebagai perujudan legalitas dari kompromi kepentingan kelompok-kelompok. Ternyata di pasca reformasi bukan saja ketidakpastian hukum yang menjadi persoalan malainkan ketidak-percayaan pada hukum dan penindasan pada rasa keadilan masyarakat, sehingga banyak bermunculan pemberontakan dan demonstrasi di mana-mana, sampai-sampai demonstrasi kerbau si buya.
Menurut hemat Penulis, ketika eksaminasi (kontrol) internal dari institusi aparat penegak hukum tidak berjalan dengan baik, maka peran eksaminasi eksternal dapat menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan kontrol terhadap proses peradilan, sehingga pada muaranya penegakan HAM atas tindakan sewenang-wenang pihak penguasa (aparat penegak hukum) dapat dilaksanakan seutuhnya. Akan tetapi eksaminiasi eksternal-pun tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap keputusan kontroversi dari lembaga peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apapun diktum keputusan hakim, ia berlaku sebagai undang-undang yang wajib dipatuhi dan dijalankan (eksekusi) dengan baik. Persoalannya sekarang, bukankah hakim (sipembuat diktum) adalah manusia…? dan apakah dalam membuat keputusan para hakim selalu benar…? Lalu bagaimana dengan kasus-kasus yang telah diputus seperti terhadap Asrori yang pelakunya telah divonis 15 tahun penjara belakangan terungkap bukan dia pelakukanya…? atau kasus orang tua yang diduga membunuh anak setelah menjalani hukum lebih kurang 16 tahun tiba-tiba si anak muncul dalam keadaan sehat walafiat…? siapa yang patut dimintai pertanggungjawaban atas kekeliruan tersebut….? Dengan apa dikembalikan kemerdekaan (HAM) yang bertahun-tahun islam dirampas dari mereka akibat dari kekeliruan dalam proses penegakan hukum…?
Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa hampir semua peraturan perundang-undangan kita melanggar HAM termasuk Undang-undang HAM sendiri. Memang harus diakui, bahwa untuk mencapai ketertiban dalam sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, harus ada pembatasan terhadap Hak Asasi tertentu dari Manusia. Tetapi hendaknya situasi tersebut tidak diperkeruh oleh nuansa kepentingan. Harus ada sebuah konsep, yang menurut penulis adalah “1/2 Toleransi” dengan kata lain harus ada ambang batas. Kita tidak usah munfaik! Bahwa hukum adalah kepentingan. Memang hukum harus berisi kepentingan-kepentingan. Tapi bukan kepentingan penguasa atau kepentingan elite tertentu, melainkan Hukum harus berisi keseimbangan antara kepentingan masyarakat, penguasa dan kepentingan elite tertentu.
Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana penanggulangan kejahatan (HAM) dengan tujuan untuk[18]:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan sehinga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah telah dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut hemat Penulis, ketiga tujuan ideal dari Proses Peradilan Pidana tersebut tidak akan pernah terwujud, selama belum ada perubahan dalam sistem penegakan hukum itu sendiri. Sejarah membuktikan bahwa ternyata, sistem yang mengajarkan dan sistem yang memberi “celah” bagi aktor-aktor di belakang hukum untuk dipolitisir dan dipelintir sesuai kepentingan yang dikehendaki. “Hukum dibuat untuk dilanggar” Mitos keliru! Yang terlanjur terdoktrin oleh manusia Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, sebagai bentuk warisan dari Pemerintahan Kolonial yang jelas punya kepentingan di Indonesia. “Ada Peristiwa baru ada hukum”, makanya hukum selalu tertinggal di belakang objek yang diaturnya. Kalau kita mau jujur…, harus disadari! Bahwa kita telah kehilangan “Nurani”. Cermin hati manusia Indonesia telah hancur berkeping-keping. Kita terfokus kepada dosa turunan yang diwariskan Adam dan Hawa karena melanggar perintah dan larangan Allah. Sesungguhnya jauh sebelum hukum buatan manusia itu lahir bahkan sebelum peradaban manusia, Allah telah menciptakan hukum abadi, “Moral” atau “etika”, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya, apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang adil dan tidak adil. Sesuai sifatnya, alam selalu berubah! Demikian juga manusia berikut segala bentuk kebudayaannya sebagai hasil karya dan cipta manusia. Satu yang tidak berubah “Nurani” ia akan kekal kembali kepada sang khalik. Para penguasa, petinggi negara dan pembuat kebijakan, seyogyanya mendengar dan mengutamakan “suara hati” (karena ia tidak pernah berbohong), Sebab ditangannyalah nasib negeri ini bergantung. Untuk itu menurut hemat Penulis kita harus memberi sebuah devini hukum yang tepat (meskipunbanyak ahli hukum berpendapat bahwa belum ada devinisi yang pasti tentang hukum). Menurut Penulis: “hukum adalah seni yang berisi tata nilai tentang baik atau buruk, benar atau salah, boleh atau tidak, yang ditentukan oleh pembuat hukum, penjalan hukum dan pemantau hukum”. Dengan devinisi diharapkan hukum dapat berfungsi sebagai “control” perilaku bagi masing-masing individu. Karena sebelum individu tersebut berhadapan dengan khalayak terlebih dahulu ia akan berhadapan dengan nuraninya atas pertanyaan, baik atau buruk, benar atau salah boleh atau tidak. Sebab musuh terbesar manusia adalah hawa nafsunya sendiri.
Fiedman berkata bahwa sistem hukum dibangun atas 3 landasan dasar utama, yaitu: strutural, substansi dan budaya hukum. Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum dengan prinsip the rule of law, mestinya benar-benar membangun hukum atas 3 landasan dasar tersebut, dibarengi dengan mekanisme kontrol baik secara internal ataupun eksternal. Dosa terbesar yang pernah dibuat bangsa ini adalah menjadikan hukum sebagai kepentingan dan alat untuk rekayasa sosial tanpa dilandasi “behavior” yang baik, sehingga kita menjadi pecundang, pengkhianat keadilan terhadap manusia dan kemanusiaan. Upaya agar HAM tetap dihormati, tidak dibatasi dan tidak dilanggar, baik secara nasional, regional maupun internasional, maka penegakan hukum melalui mekanisme peradilan baik nasional maupun internasional adalah langkah bijak terhadap penghormati HAM. Baik di tingkat nasional, regional maupun internasional, peradilan HAM adalah peradilan khusus, menyangkut instrumen khususnya maupun institusi dan proses peradilannya. Hal ini dikarenakan pelanggaran atau kejahatan HAM bukan merupakan kejahatan biasa tetapi merupakan Extra Ordinary Crime. Pelanggaran berat HAM dikatakanExtra Ordinary Crime, disebabkan 3 (tiga) alasan, yaitu:
1. Pola tindak pidana yang sangat sistematis dan dilakukan oleh pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh.
2. Kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan.
3. Kejahatan tersebut sering berlindung di balik dasar penegakan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, karena kalau dulu pelanggaran HAM sering ditujukan kepada hak Sipol, maka sekarang pelanggaran HAM yang paling berbahaya adalah pelanggaran HAM di bidang Ekosob, karne berdampak secara global dan menyeluruh, perlahan tapi pasti menggerogoti seluruh sendi kehidupan, baik makro maupun mikro organisme, baik yang tersentuh langsung atau pun tidak langsung, akan ikut memikul beban risiko dari pelanggaran HAM tersebut.
Ke depan sangat diharapkan adanya pemenuhan atas hak-hak korban seharusnya lebih diutamakan, karena jaminan Perlindungan terhadap hak-hak korban adalah salah satu bentuk dari pertanggungjawaban Negara dalam menegakan dan menghormati HAM, jika tidak maka yang terjadi adalah akumulasi ketidak adilan.

 PBB melalui revolusi Majeis Umum No. 177 menugaskan kepada ILC (International Law Commnission) untuk memformulasikan prinsip-prinsip hokum yang muncul dari Mahkamah Nuremberg.
Sinta Agustina, Hukum Pidana Internasional Dalam Teori dan Praktek, Andalas Universty Press, Padang, 2006. Hal. 82.
 Andrey Sujatmoko, Tanggungjawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005. Hal.2.
Andrey Sujatmoko, HAM, Pelanggaran HAM dan Penegakan HAM, Kumpulan Makalah Dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), Pusham-UII, Yokyakarta, Februari 2007. Hal. 335.
Pasal 7 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
 PP. Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.
 PP Nomor 3 Tahun 2000 tentang Kompensasi, RestituĂ­s dan Rehabilitasi Terhadap Sorban Pelanggaran HAM yang berat.
 Statuta Mahkamah Internasional tersebut disetujui dalam Konferensi Diplomatik PBB di Roma, Italia pada tanggal 17 Juni 1998 dan baru mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002. ICC kini telah memiliki 18 Hakim yang dipilih sebagai wakil dari negara-negara dari sistem hukum yang berbeda, dengan 99 negara peserta, termasuk Indonesia.
 Superman Marzuki, Peradilan Yang Fair dan Manusiawi Sebagai Hak Asasi Manusia, Makalah dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (kajian Multi Perspektif), Pusham – UII, Yogyakarta, 2007. Hal. 367.
 Sebelumnya Pembentukan Pengadilan HAM tersebut didasarkan pada Perpu Nomor 1 Tahun 1999, namun Perpu tersebut kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
 Kejahatan genocida yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang tersebut meliputi: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a) membunuh anggota kelompok; b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.”
 Kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a) pembunuhan; b) pemusnahan; c) perbudakan; d)pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f) penyiksaan, perkosan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara niversal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i) penghilangan orang secara paksa; atau j) kejahatan aparteid.

0 komentar:

Posting Komentar