WELCOME TO MY BLOG

Minggu, 19 Februari 2012

penegakan HAM

2.  PENANGANAN HAM

“Jika kejahatan yang terjadi di masa lalu (oleh negara) dibiarkan begitu saja, maka niscaya peristiwa semacam itu akan terulang”
 Rakyat Indonesia yang hidup dalam rejim orde baru yang otoritarian telah mencatat berbagai peritiwa kekerasan dan telah mengorbankan masyarakat Indonesia. Orde baru dengan berbagai dalih tentang kesatuan, stabilitas serta pembangunan bangsa melakukan kekerasan terhadap masyarakatnya sendiri dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaanya. Pemerintah yang berkuasa menggunakan kekuatan dari aparat negara sebagai alat yang ampuh dalam melakukan penekanan terhadap masyarakat. Pelanggaran terhadap hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjadi hal yang ‘legal’ dalam Rejim Orde Baru. Walaupun, sebagaian kelompok masyarakat berupaya untuk menyuarakan tentang pentingnya perlindungan, penegakan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) usaha tersebut terus dihambat oleh rejim yang berkuasa.
Pergantian kekuasaan dari rejim otoritarian ke rejim demokrasi pada tahun 1998 telah memberikan angin segar terhadap penegakan HAM di Indonesia. Pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menopang usaha penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba melihat tentang sejarah kekerasan yang terjadi di Indonesia serta berbagai upaya penyelesaiannya.
Rejim Orde Baru, Orde Kekerasan
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita lihat sekelumit perjalanan kekerasan yang terjadi selama orde baru
Pembasmian G-30-S, 1965-1966
Pembunuhan, penyiksaan, penahanan massal, pengusiran paksa, perkosaan, perbudakan seks, terjadi antara bulan Oktober 1965 sampai sekitar bulan Maret 1966. Diduga antara setengah sampai satu juta orang tewas dalam rangkaian kejadian itu, ratusan ribu lainnya ditahan, sementara belasan juta kehilangan penghidupan, harta benda karena dirampas dalam gelombang kekerasan tersebut. Operasi pembasmian ini menandai awal berdirinya Orde Baru. Pola dan teknik yang digunakan terus kita temukan dalam kasus-kasus pelanggaran selanjutnya.
Pengejaran terhadap pembangkang politik, 1966-1971
Setelah menumpas gerakan kiri, sasaran berikutnya adalah semua kekuatan yang secara terbuka menentang atau sekadar menjadi ancaman bagi ekspansi kekuasaan Orde Baru, terutama pendukung Presiden Soekarno. Pemilihan umum 1971 di dahului pengejaran, penculikan dan pembunuhan sejumlah tokoh dan aktivis yang dikhawatirkan mengganggu kemenangan mutlak Golongan Karya (Golkar). Sejumlah korban sebelumnya menjadi pendukung ketika Orde Baru mulai bangkit, dan membuka mata bahwa “komunis” hanyalah sasaran antara.
Papua, 1969-1984
Diperkirakan sekitar 300.000 orang atau sekitar 30% penduduk Papua menjadi sasaran operasi militer dan tindak kekerasan lain oleh aparat negara sejak tahun 1969. Sebagian meninggal dunia karena pemboman wilayah (aerial bombardment), yang juga menghancurkan ekologi dan perikehidupan rakyat setempat untuk waktu lama. Kelaparan, tidak adanya akses kesehatan dan pengejaran terhadap penduduk seringkali terjadi di pedesaan sementara kaum terpelajar menjadi sasaran di kota-kota. Di sini pula kita melihat program Keluarga Berencana (KB) yang dibanggakan oleh Orde Baru sebagai jalan mengontrol kepadatan penduduk justru menjadi cara ampuh untuk menghalangi berkembangnya orang Papua.
Timor Lorosae, 1975-1998
Sejak invasi tahun 1975 sampai penghancuran 1999 diperkirakan 200.000 orang tewas akibat pemboman, pembunuhan massal, penculikan dan penyiksaan. Seperti di Papua, perkosaan, kontrol kelahiran dan kelaparan menjadi bagian dari strategi militer untuk menaklukkan penduduk. Akibat kekerasan bertahun-tahun pola pemilikan tanah dan akses sumber daya alam mengalami kekacauan yang berdampak terhadap kehidupan generasi selanjutnya. Dalam melakukan berbagai tindak kekerasan, TNI juga menggunakan tangan penduduk lokal yang direkrut sebagai wanra, militerisasi dan kemudian milisi pro-integrasi, dan menimbulkan kesan bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah “konflik horisontal”. Pola seperti itu juga digunakan di berbagai wilayah lain, termasuk Aceh dan Papua.
Penggusuran Tanah dan Penindasan Petani
Dalam periode 1970-2000 tercatat sekurangnya 1.800 kasus pencaplokan tanah seluas 8,34 juta hektar di seluruh Nusantara, oleh perkebunan, pertambangan, industri pariwisata, sarana militer dan proyek pemerintah lainnya. Dalam hampir setiap kasus terjadi tindak kekerasan oleh aparat keamanan yang mengakibatkan kematian. Di sinilah kita dengan gamblang melihat hubungan antara ekspansi kapitalisme dengan kekerasan yang terjadi pula di sektor-sektor masyarakat lainnya.
Penindasan Buruh
Intervensi militer dalam perselisihan industri selalu terjadi sepanjang kekuasaan Orde Baru. Badan-badan intelijen sering menggelar operasi untuk meredam perlawanan buruh, antara lain dengan menculik dan membunuh para pemimpin buruh, seperti dalam kasus Marsinah dan Titi Sugiarti. Penindasan itu berperan penting menciptakan “keunggulan komparatif”, yakni buruh murah dan tertib sebagai landasan industrialisasi di masa Orde Baru.
Penembakan Misterius terhadap sejumlah pelaku kriminal
Selama pertengahan tahun 1980-an terjadi pembunuhan terhadap sekitar ribuan orang preman dan mantan residivis. Semula pemerintah menyatakan tidak bertanggungjawab, sampai Jenderal Soeharto dalam otobiografinya mengakui bahwa operasi itu adalah shock therapy bagi penjahat kambuhan. Sampai saat ini pemerintah tidak pernah membuat penyelidikan apa pun.
Daerah Operasi Militer Aceh, 1989-1998
Selama sepuluh tahun Aceh berada dalam status Daerah Operasi Militer (DOM). Penyelidikan yang dilakukan oleh pemerintah mencatat ribuan kasus pembunuhan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, perkosaan dan tindak kekerasan lainnya terhadap warga. Hal ini belum termasuk pengusiran paksa, perampasan harta benda termasuk tanah yang selalu menyertai tindak kekerasan tersebut.
Penyerangan kantor PDI, 27 Juli 1996,
Untuk menaklukkan perlawanan politik Orde Baru tidak segan menggunakan cara-cara kotor, seperti campur tangan dalam urusan intern partai politik. Pada tanggal 27 Juli 1996 polisi, TNI dan preman menyerang kantor DPP PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, berakibat puluhan orang tewas dan hilang sampai saat ini. Intervensi semacam itu bukan yang pertama tapi kelanjutan dari pola represi terhadap kekuatan politik yang dimulai tahun 1965-66.
Menggebuk Perlawanan Mahasiswa II: 1998-1999
Pemerintahan Soeharto yang tengah sekarat berusaha mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Pembunuhan di masa lalu menjadi cara yang manjur untuk meredam gerakan dan sekaligus memberi peringatan kepada siapa pun yang ingin melakukan perlawanan. Selama tahun 1998-99 puluhan mahasiswa menjadi korban penembakan yang sistematis dan terencana oleh aparat TNI dan Polri di Jakarta, Yogyakarta, Palembang dan Lampung.
Menghantam Islam politik
Aktivis politik Islam berulangkali menjadi sasaran tindak kekerasan. Di tahun 1980-an sasaran utama adalah kaum muballigh dan pendakwah yang dituduh menyebarkan kebencian terhadap pemerintah atau bercita-cita mendirikan negara Islam. Kekerasan berulangkali terjadi, seperti dalam kasus Tanjung Priok, Lampung, dan Haur Koneng di Garut. Namun para korban tidak terbatas pada mereka yang “aktif” dalam gerakan, tapi juga keluarga mereka, termasuk perempuan dan anak-anak
Reformasi 1998, Upaya penegakan HAM
Tahun 1998 menjadi satu catatan penting dalam sejarah Indonesia. Pada masa tersebut, gerakan masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa berhasil mendesak presiden Soeharto untuk mundur dari tampuk kepresidenan. Seiring dengan itu pula, jejak kekerasan yang ditinggalkan oleh Rejim orde baru kemudian mulai terkuak. Sebagaian besar masyarakat baru menyadari bahwa selama ini, Indonesia dibangun dengan dasar kekerasan serta pelanggaran terhadap HAM.
Sejak itu pula, upaya penegakan HAM terus dilakukan oleh berbagai pihak. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
 merupakan salah satu kelompok masyarakat yang terus mengkampanyekan tentang penegakan HAM. Selain itu, LSM yang fokus pada permasalahan HAM mulai melakukan upaya-upaya penegakan HAM serta mendesak pemerintah untuk segera melakukan penyelesaian berbagai kasus palanggaran HAM yang telah terjadi dalam masa orde baru. Dalam upaya tersebut, LSM menjalin kerja sama global dengan jaringan kerja internasional untuk mendapatkan dukungan.
Peranan pihak internasional pun cukup berperan penting dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Sejak kejatuhan presiden Soeharto, perhatian pihak internasional kepada perkembangan HAM di Indonesia menjadi lebih besar. Dalam beberapa kasus, justru tekanan dari pihak internasional berhasil mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelesaiakan kasus tersebut. Selain itu, isu HAM kemudian menjadi salah satu indikator dari berbagai negara untuk melakukan kerja sama dengan Indonesia. misalnya, Amerika Serikat menghentikan bantuan militernya karena terjadinya kasus pembumi-hangusan di Timor Lorosae

Mereka yang dulu dikorbankan-selanjutnya akan kita sebut kelompok korban-oleh pemerintahan yang berkuasa, mulai berani untuk menyuarakan apa yang mereka alami. Mereka kemudian menuntut negara melalui pemerintahan yang berkuasa untuk bertanggung jawab terhadap tindakan yang mereka alami. Mereka menuntut untuk diungkapnya berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rejim sebelumnya serta mengembalikan hak-hak mereka yang dulu dirampas. Kelompok korban yang kemudian memegang perana penting dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, sebuah harapan
Tahun 1998, merupakan tahun yang bersejarah dalam perkembangan HAM di Indonesia. Salah satu syarat dalam sebuah negara yang mengalami proses transisi dari sistem otoriter menuju ke sistem demokratis adalah penyelesaian pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh rejim. Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita lihat beberapa instutusi serta beberapa kebijakan yang cukup berperan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia.
Komnas HAM merupakan salah satu institusi yang memiliki peranan cukup penting dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM. Komnas HAM dibentuk pertama kali pada tahun 1993 oleh Keputusan Presiden (Kepres) No. 50 Tahun 1993 atas rekomendasi Lokakarya I Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dengan sponsor dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam masa kerja 1993-1998, Komnas HAM tidak ada ubahnya sebagai sebuah pajangan pelengkap dari sebuah negara namun tidak mempunyai dampak yang signifikan. Pada tahun 1998, desakan yang begitu kuat dari berbagai pihak telah membuat pemerintah mau tidak mau memberikan kekuatan lebih kepada Komnas HAM. Pada tahun 1999, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) No. 1 Tahun 1999 dapat dikatakan sebagai langkah awal dari kebijakan untuk upaya penegakan HAM
Namun, banyak pihak menilai bahwa Perpu No. 1/1999 tidak cukup memadai untuk menangani pelanggaran HAM yang di Indonesia. Lebih jauh lagi, dalam perpu ini tidak mengatur secara jelas tentang unsur pidana khusus dan sanksi hukumannnya.
Pada tahun 2000, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM. Dalam UU ini, kewenangan untuk melakukan sebuah penyelidikan terhadap satu peristiwa atau masalah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM di Indonesia. Kemudian dirumuskan tentang yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Selain itu, UU memandatkan pembentukan pengadilan HAM untuk kepentingan penyelesaian pelanggaran HAM. UU ini memiliki pasal yang mengatur tentang retroaktif atau belaku surut.
Dalam UU No. 26 juga mengatur beberapa pihak lainnya yang cukup berperan dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM. Lebih jauh lagi, pasal di dalam UU ini menyatakan bahwa pembentukan pengadilan HAM ad-hoc harus melalui persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan dari presiden tentang peristiwa atau kasus tertentu. Selain itu, pihak Kejaksaan Agung berperan untuk melakukan penuntutan dalam satu kasus tertentu
Selain itu terdapat beberapa kebijakan lainnya yang dapat dikatakan sebagai proses perjalanan penyelesaian pelanggaran HAM. Dalam penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur yang melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 53 Tahun 2001 yang sudah diperbaiki dengan Kepres No. 96 Tahun 2001.
Dengan hadirnya kebijakan-kebijakan serta beberapa mekanisme institusi untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, harapan dari kelompok korban dan kelompok masyarakat lainnya mulai tumbuh. Komnas HAM sebagai salah satu institusi yang berwenang untuk melakukan penyelidikan kemudian menjadi titik awal bagi kelompok korban. Berbagai pengaduan kemudian disampaikan kepada Komnas HAM dengan harapan yang besar untuk mendapatkan sebuah proses penyelesaian secara hukum.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu
Sampai sejauh ini, terdapat dua mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yaitu Pengadilan HAM ad-hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pengadilan HAM ad-hoc merupakan satu mekanisme penyelesaian kasus yang menggunakan logika sistem yudisial sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menggunakan logika sistem non-yudisial.
Pengadilan HAM Ad-hoc
Seperti yang telah dijelaskan diatas, mekanisme ini berdasarkan pada pasal 43 UU No. 26/2000. Sementara itu, untuk sistem acara pidana tetap mengikuti Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digunakan dalam sistem peradilan di Indonesia. Selanjutnya, penuntutan perkara dapat dilakukan oleh penuntut umum dari Kejaksaan Agung atau ad-hoc yang berasal dari unur masyarakat. Kemudian, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari hakim karier dan non-karier
Munurut UU No. 26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengduan dari kelompok korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad-hoc. Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu pengadilan HAM ad-hoc. Pada tahap kedua dan ketiga tampak jelas bagaimana political will dari pemerintahan yang berkuasa memegang peranan penting.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang telah ditangani oleh mekanisme ini adalah kasus Timor Timur dan Tg. Priok. Peradilan pertama dilakukan pada tahun 2003 atau sekitar terlambat dua tahun dari yang direncanakan. Pemerintah mengatakan bahwa keterlambatan tersebut hanya masalah teknis seperti pembangunan infrastruktur peradilan dan rekrutmen jaksa dan hakim ad-hoc.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Komisi ini akan dibentuk berdasarkan UUNo. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah disahkan pada 7 September 2004. Sebelumnya, UU ini telah diusulkan oleh TAP MPR No. VI/MPR/200 yang kemudian juga tertuang dalam pasal 47 (ayat 1) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.”
Dalam UU-nya, Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa. Selain itu, komisi mendefinisikan lebih detil tentang siapa yang menjadi korban dan apa saja yang menjadi hak dari mereka seperti untuk mendapatkan kebenaran, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Komisi ini juga mengatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc. Menurut beberapa narasumber, komisi ini merupakan komplementer dari UU No. 26/2000.
Komisi ini terdiri dari tiga sub-komisi yang terdiri dari subkomisi penyelidikan dan klarifikasi; subkomisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi serta subkomisi pertimbangn amnesti. Komisi ini akan beranggotakan 21 anggota komisi yang kemudian akan berkerja dengan sistem sub-komisi.
Problematik penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, sebuah kenyataan…
Harapan yang cukup besar dari kelompok korban ternyata tidak begitu saja dapat terwujud. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu ternyata menyimpan berbagai problem yang cukup rumit. Sejak tahun 1998, desakan yang begitu besar dari kelompok korban terus mengalir ke lembaga-lembaga terkait. Bahkan kelompok korban bersama elemen masyarakat lainnya terus melakukan berbagai kegiatan, muali dari audiensi, lobby politik hingga demonstrasi.
Dua kasus yang telah ditangani oleh pengadilan HAM ad-hoc telah menjadi pertanyaan besar bagi banyak pihak tentang efektifitas dari mekanisme ini untuk mendapatkan rasa kebenaran dan keadilan bagi korban. Dalam pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur telah menunjukkan hasil yang mengecewakan banyak kalangan, khususnya kelompok korban. Beberapa orang yang berada dalam tingkatan komando pada saat kejadian tersebut dan diduga kuat bertanggung jawab lepas dari tuntutan hukum. Hasil yang serupa dialami oleh pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Tg. Priok.
Belajar dari pengalaman beberapa negara lain yang mengalami masalah yang serupa serta melihat peluang mendapatkan keadilan melalui mekanisme peradilan, wacana tentang KKR kemudian muncul. Beberapa konsep dasar KKR adalah; memberikan arti pada suara korban secara individu, pengungkapan sejarah sebenarnya, pendidikan dan pengetahuan publik, menuju reformasi kelembagaan, mengembalikan hak korban serta pertanggungjawaban dari para pelaku.
Namun, kehadiran KKR sendiri dalam bentuk UU mendapat sambutan yang dingin dari para kelompok korban. Walaupun belum berjalan sampai saat ini, sinyalemen ketidakpercayaan sudah terlihat dari berbagai kelompok masyarakat. UU KKR sekarang memang dinilai oleh banyak pihak menyimpang dari konsep dasarnya.
Terdapat beberapa masalah yang selama ini mewarnai proses tersebut antara lain;
Pertama, tidak adanya political will dari pemerintahan yang berkuasa. Banyak pihak yang menilai bahwa pemerintah selama ini tidak memiliki niatan yang serius untuk melakukan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam proses penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, DPR mempunyai peranan dalam memberikan rekomendasi terhadap satu kasus tertentu untuk dibawa ke pengadilan HAM ad-hoc. Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dalam kesimpulan akhirnya menyatakan bahwa tidak terjadi suatu pelanggaran HAM yang berat dalam kasus TSS. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak, DPR mengambil satu keputusan tanpa melakukan satu proses penyelidikan melainkan hanya melalui Rapat Dengar Pendapat dengan berbagai pihak. Komnas HAM mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh DPR.
Kedua, kebijakan yang memperpanjang rantai impunitas
. Masih senada dengan masalah pertama, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintahan yang berkuasa sejak kejatuhan orde baru hingga saat ini masih tetap menunjukkan kecenderungan untuk melakukan praktek-praktek impunitas. Kritik yang keras tentang UU No. 26/2000 mulai berkembang sejak melihat kenyataan bahwa banyak pasal yang disalahartikan sehingga memungkinkan para pelaku untuk bebas. Kemudian, UU KKR yang belum berjalan juga sudah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Kelompok korban merasa bahwa UU ini telah memasung hak mereka untuk mendapatkan keadilan

Ketiga, kendala di sistem peradilan diantara insititusi yang berwenang. Kondisi ini ditunjukkan oleh kinerja dari Kejaksaan Agung dalam menangani kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Komisi Penyelidikan terhadap Pelanggaran (KPP) HAM kasus Timor-Timur mengeluarkan beberapa hasil penyelidikannya yang kemudian jauh berbeda dengan tuntutan yang dihasilkan oleh Kejaksaan Agung. Alih-alih dari Kejaksaan Agung adalah alasan politik. Terlebih lagi dalam proses pengadilan, dangkalnya penuntutan serta meragukannya kapasitas dari para penuntut umum telah memberikan hasil yang sangat jelas. Sebagian besar dari para terdakwa dikemudian diputus bebas oleh pengadilan atau pengadilan banding
.  Kondisi ini memperlihatkan secara jelas bahwa masing-masing institusi melakukan interpertasi masing-masing terhadap satu proses penyelesaian kasus, baik itu karena pertimbangan politik maupun tidak.
Keempat, usaha pembungkaman oleh para pelaku. Mereka yang diduga terlibat atau menjadi pelaku tentunya tidak tinggal diam saat mereka akan diajukan dalam sebuah proses hukum. Mereka kemudian mencari berbagai cara untuk menghambat terjadinya proses peradilan tersebut. Selain melalui teror atau intimidasi, mereka juga melakukan pendekatan kepada kelompok korban dengan iming-iming materi. Apalagi, mayoritas kelompok korban berasal dari kelompok masyarakat menegah ke bawah. Sebagai salah satu contoh kasus adalah proses ishlah antara beberapa orang yang diduga seperti Try Sutrisno dengan sejumlah korban dalam peristiwa Tg. Priok. Proses ini kemudian berimbas pada proses peradilan dimana banyak diantara korban yang kemudian menarik tuntutan mereka serta menolak mengakui BAP (Berita Acara pemeriksaan) yang pernah dibuat.
Upaya tiada henti……
Untuk menggambarkan tentang usaha kelompok korban dan elemen masyarakat lainnya serta lika-liku dari proses perjuangan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu, penulis akan mengambil perjuangan kasus semanggi I dan II.
Tragedi semanggi I yang terjadi pada tanggal 13 November 1998 telah menelan korban jiwa sebanyak 11 orang dan ratusan lainnya terluka
. Tragedi semanggi II terjadi pada 23-24 September 1999 menelan korban jiwa sebanyak 12 orang dan ratusan korban lainnya terluka.
Para keluarga korban yang kemudian berkumpul bersama dan mulai melakukan advokasi untuk kasus tersebut. Bersama dengan LSM, kelompok mahasiswa dan gerakan lainnya, kelompok korban mulai melakukan penuntutan ke berbagai instansi yang dianggap berwenang atau mempunyai kemampuan secara politik untuk mendorong upaya penyelesaian pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut.
Dalam periode 1999 hingga 2001, kurang lebih 15 instansi pemerintah telah didatangi oleh mereka. Mulai dari Kepolisian Militer hingga ke presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), mereka terus menuntut agar pemerintah segera melakukan penyelesaian secara hukum kedua kasus tersebut. Berbelit-belitnya birokrasi hingga kekerasan yang mereka harus alami tidak menghentikan perjuangan mereka. Akhirnya perjuangan tersebut membuahkan hasil. Pada akhir tahun 2001, DPR kemudian membentuk pansus TSS. Namun, jauh berbeda dari apa yang diharapkan, Pansus tersebut kemudian mengeluarkan rekomendasi bahwa dalam peristiwa tersebut tidak terjadi pelanggaran HAM yang berat dan membawa kasus tersebut ke pengadilan militer.
Kelompok korban kemudian mendesak Komnas HAM mengambil langkah menanggapi kondisi tersebut. Komnas HAM kemudian membentuk KPP HAM TSS untuk melakukan penyelidikan. Berlindung dibalik keputusan dari DPR, para pejabat yang aktif saat periode kedua kasus tersebut menolak untuk hadir saat dipanggil untuk memberiokan keterangan kepada KPP HAM TSS. Saling silang pendapat disekitar masalah prosedural mulai terjadi. Komnas HAM menganggap bahwa keputusan DPR bukanlah keputusan hukum yang mengikat melainkan sebuah keputusan politik. Sebaliknya, DPR menganggap bahwa Komnas HAM telah menyalahi prosedur yang diatur UU No. 26/2000.
Komnas HAM bergeming dan terus melanjutkan penyelidikan hingga mengeluarkan rekomendasi bahwa diduga kuat telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut. Berkas ini kemudian dilanjutkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindak lanjuti ke proses penuntutan. Perdebatan kembali terjadi, yang dikemudian hari menjadi masalah teknis. Dalam sebuah audiensi, perwakilan Kejaksaan Agung mengatakan bahwa terdapat masalah teknis dalam laporan yang diberikan oleh Komnas HAM sehingga dikembalikan dan perlu dilakukan perbaikan. Hingga saat ini, kedua institusi tersebut saling melempar tanggung jawab sehingga berkas kasus tersebut masih menggantung hingga saat ini.
Sebuah penutup…
Dari pemaparan diatas, terlihat jelas bahwa harapan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu semakin jauh dari kenyataan. Mekanisme yang dibuat oleh pemerintah justru terkadang menjadi proses impunitas bagi para pelaku. Problematik yang menghadang proses tersebut begitu banyak dan sangatlah politis. Kekuatan politik yang berkuasa di Indonesia tidak memiliki/mampu untuk mendorong upaya penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu sebagai salah satu syarat proses transisi sistem yang otoritarian menuju ke proses demokratis. Kelompok korban dan masyarakat membutuhkan satu terobosan untuk merebut keadilan yang telah di injak oleh penguasa.

0 komentar:

Posting Komentar