DASAR – DASAR TEORI SASTRA
A.
Pengertian Sastra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah
“karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri
keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan
ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai
kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang
umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang
khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai
dengan wawasannya sendiri.
Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. sebuah ciptaan, kreasi, bukan imitasi
2. luapan emosi yang spontan
3. bersifat otonom
4. otonomi sastra bersifat koheren(ada keselarasan bentuk dan isi)
5. menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan
6. mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.
Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam
menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang
menentukan adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.
Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman
manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik saja. Sastra selalu
melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi, dan agama. Berbagai
segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya.
Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense).
Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya
dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan.
Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul kenikmatan estetis. Menurut
Luxemburg dkk (1989) sastra juga bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca
sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial,
maupun intelektual dengan cara yang khusus.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah
hasil cipta manusia dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan,
bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat
relatif.
B. Sastra, Antara Estetika dan Etika
Meski pendapat Laurance Perrine (1959) boleh dianggap
kuno, tetapi masih bisa memberi gambaran tentang dua kategori sastra,
yang dia sebut sebagai escape literature daninterpretative
literature, yang masing-masing punya kelas pembaca sendiri (Sunaryono
Basuki Ks. dalam Mozaik Sastra, 2005). Sastra yang termasuk
kategori pertama, ditulis semata-mata untuk menghibur, sekedar mengisi waktu
luang. Sastra jenis ini justru membawa pembacanya menjauh dari kenyataan
kehidupan, dan membuat pembacanya lupa akan masalah yang dihadapinya. Tujuannya
cuma memberi kesenangan atau hiburan saja.
Sastra kategori kedua ditulis untuk memperluas, memperdalam, serta
mempertajam kesadaran pembacanya mengenai kehidupan. Dengan melalui imajinas,
sastra kategori ini membawa pembaca lebnih dalam ke dunia nyata, membuat orang
mampu memahami masalah-maslahnya, sastra ini membuat orang lebih mendalami dan
memahami masalah-masalahnya, sastra ini membuat orang lebih memahami kehidupan.
Sebuah karya sastra interpretatif menerangi aspek kehidupan dan perilaku
manusia, memberi pemahaman mendalam mengenai sifat dan kondisi eksistensi
manusia.
Karya sastra yang baik akan mengetengahkan kebenaran mengenai sejumlah
aspek esksistensi kehidupan manusia. Sastra mampu mengungkapkan sebuah
kemerosotan etika dengan balutan estetika yang apik yang berisi pesan moral
atau kritik social dengan cara yang lain. Sastra dengan balutan estetika dan
etika diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai hakiki karakter, moralitas, dan
etik yang bersentuhan dengan problem kemanusiaan dan berbagai halnya secara
perlahan dan tak langsung. Menurut Maman S. Mahayana (Bermain dengan Cerpen, 2006) sastra
dihadirkan dengan kesadaran untuk menggoda rasa dan nilai kemanusiaan. Menyentuhnya
secara halus, dan diam-diam menggerayangi hati nurani kita. Tiba-tiba kita
seperti disadarkan untuk melakukan refleksi pada sesuatu yang tersembunyi di
balik fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Ada rahasia apakah gerangan
dan apa maknanya di belakang dan di hadapan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan
itu? Sastra mencoba menguak dan kemudian menyodorkannya kepada kita dengan cara
yang khas.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Jaffe dan Scott
(1968), di dalam membaca karya sastra pembaca akan menemukan (bukan diajari)
nilai-nilai kemanusiaan. Menurut mereka, fiksi yang paling efektif adalah yang
menafsirkan aspek-aspek kondisi manusia secara efisien dan jujur. Dalam
hubungan itulah, sastra mencoba menyajikan dan memaknainya dengan caranya sendiri.
Ia mungkin berbentuk cerita lucu atau kisah tentang kehidupan di dunia
antah-berantah atau mungkin juga menyerupai potret sosial yang dibalut dengan
nilai estetik. Nilai-nilai estetik inilah yang menjadikan sastra mampu
menelusup jauh lebih dalam sampai ke ujung hati nurani bahkan sampai ke dasar
rasa kemanusiaaan.
C. Mengajarkan Estetika dan Etika
(Sastra) di Sekolah
Bila kita sepakat dengan pendapat Laurance Perrine
mengenai kategori sastra yang kedua yang lebih mengedapankan pada aspek
estetika dan etika dalam balutan imajinasi pembacanya. Dengan imajinasinya,
pembaca memaknai karya sastra dalam sebuah bingkai yang penuh makna karena di
dalamnya terdapat nilai estetika dan etika yang sangat bermanfaat bagi
kehidupannya. Pembaca yang cerdas mampu memilah mana karya sastra yang mampu
memberikan manfaat yang berguna bagi kehidupannya, dan mana bacaan yang sekedar
menghibur dan menghipnotis pembaca sehingga melupakan kenyataan hidupnya, hanya
kesenangan sesaat yang diperolehnya.
Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa etika
pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika menuntut
pertanggungjawaban dan mau menyingkapkan kerancuan. Etika tidak membiarkan
pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat
moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan
permasalahan moral (Etika Dasar, 2006).
Pengajaran sastra di sekolah hendaknya mampu
memberikan sesuatu yang berguna bagi siswa. Siswa hendaknya dibawa untuk
memamahami dan memaknai hidup secara nyata melalui iamjinasinya sehingga mampu
memberi pemahaman secara mendalam mengenai sifat dan kondisi eksistensi
manusia.
Guru dalam melaksanakan pembelajaran sastra di
sekolah hendaknya mampu memilih dan memilah karya-karya yang berbobot yang memberikan
manfaat estetis dan etika. Ada satu pesan moral yang disampaikan dalam balutan
keindahan dalam sebuah karya sastra. Guru yang bijak tidak akan memilihkan
bacaan-bacaan yang sekedar memberikan hiburan semata, yang justru meracuni
siswa dengan melupakan eksistensinya sebagai manusia.
PERIODISASI SASTRA INDONESIA
Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu
dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun
kemunculan, periodisasi sastra juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri sastra
yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang
terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1. Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan
lama Indonesia dibagi menjadi:
a. kesusastraan zaman purba;
b. kesusastraan zaman Hindu Budha;
c. kesusastraan zaman Islam;
d. kesusastraan zaman Arab–Melayu.
2. Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang
hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya- karya Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi antara lain:
a. Hikayat Abdullah;
b. Syair Singapura Dimakan Api;
c. Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah;
d. Syair Abdul Muluk, dll.
3. Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru mencakup
kesusastraan pada zaman:
a. Balai Pustaka / Angkatan ’20;
b. Pujangga Baru / Angkatan ’30;
c. Jepang;
d. Angkatan ’45;
e. Angkatan ’66;
f. Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang.
Selain penjelasan tersebut, berikut ini dikemukakan periodisasi sastra
menurut H.B. Jassin. H.B.Jassin mengelompokkan sastra Indonesia atas dua
periode, yaitu:
1. periode sastra Melayu Lama
2. periode sastra Indonesia Modern. yang terdiri atas empat angkatan,
yaitu:
a. Angkatan Balai Pustaka;
b. Angkatan Pujangga Baru;
c. Angkatan ’45;
d. Angkatan ‘66 ;
A. Sastra
Melayu Lama
Sastra Melayu lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad ke- 20 dengan
ciri-cirinya, antara lain: masih menggunakan bahasa Melayu, umumnya bersifat
anonim, bersifat istanasentris, dan menceritakan hal-hal berbau mistis seperti
dewa-dewi, kejadian alam, peri, dan sebagainya.
Sastra pada masa Sastra Melayu Lama contohnya: dongeng tentang arwah,
hantu/setan, keajaiban alam, dan binatang jadi-jadian. Berbagai macam hikayat
seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma.,
Syair Perahu dan Syair Si Burung Pungguk oleh Hamzah Fansuri dan Gurindam
Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji.
B. Sastra
Indonesia Modern
a. Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti
Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun
ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan bahasa Indonesia yang
masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat persoalan adat
kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal,
dan cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah
satu roman yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya.
Berikut ini dapat kita pelajari bersama sinopsis Roman Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya adalah roman
yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang pemuda yang
bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk Maringgih.
Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi
istrinya yang kesekian. Dengan licik ia beserta kaki tangannya berhasil
menghancurkan perniagaan Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat
utang yang tak akan terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih
berhasil menikahiSiti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk
Maringgi karena tidak rela ayahnya dipenjara.
Samsul Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri,
tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan
Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat
Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita,
semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka dimakamkan di
Gunung Padang.
Melalui cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu,
masih terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya
berasal dari keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat
dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan perempuan tidak
perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada suami atau mengurusi
rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan adat masih sangat kuat, sehingga
siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat.
Berikut ini contoh lain karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka,
yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa roman antara lain Azab
dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi
Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua
Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan
Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi
Pane).
b. Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang
dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut.
Sensor dilakukan terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa
nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual dan nasionalistik. Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru
antara lain sudah menggunakan bahasa Indonesia, menceritakan kehidupan
masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik
sudah berkembang), pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya
nasional, menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme,
intelektualisme, dan materialisme.
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar
Terkembangkarangan Sutan Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang merupakan
kisah roman antara tiga muda-mudi, yaitu: Yusuf, Maria, dan Tuti. Berikut ini
dapat kita pelajari Roman Layar Terkembang. Yusuf adalah seorang mahasiswa
kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita. Maria adalah seorang mahasiswi
periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh
kebahagian. Tuti adalah guru dan juga gadis pemikir yang berbicara seperlunya
saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin
menyampaikan beberapa hal yaitu, perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas
sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, perempuan dapat lebih dihargai
kedudukannya di masyarakat. Selain itu, masalah yang datang harus dihadapi
bukan dihindari dengan mencari pelarian, seperti perkawinan yang digunakan
untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa
kesepian atau demi status budaya sosial.
Di sisi lain, pada Angkatan Pujangga Baru Amir Hamzah diberi gelar sebagai
“Raja Penyair Pujangga Baru.” Beliau diberi gelar tersebut karena mampu
menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang
sedang berkembang. Dengan susah payah beliau mampu menarik keluar puisi Melayu
dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa
Indonesia, yang menjadi dasar dari Indonesia yang sedang dicitacitakan bersama.
c. Angkatan ’45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat memprihatinkan dan
serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan dengan peperangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 antara lain: terbuka, pengaruh unsur sastra asing
lebih luas, corak isi lebih realis, naturalis, dan individualisme sastrawan
lebih menonjol. Puisi yang dianggap maskot pembaharuan dalam sejarah perpuisian
di Indonesia adalah puisi yang berjudul “ Aku” karya Chairil Anwar. Dalam puisi
tersebut, Chairil menggambarkan pandangan dan semangat hidupnya yang
menggebu-gebu, individualistis, dan revolusioner.
Berikut ini disajikan puisi “Aku” seutuhnya.
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorangpun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)
Karya sastra pada masa Angkatan ’45, antara lain: Tiga Menguak
Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin), Deru Campur
Debu (Chairil Anwar), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang
Putus (Chairil Anwar) , Pembebasan Pertama (Amal
Hamzah), Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo)
d. Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison.
Semangat avant-gardesangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya
sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya
karya sastra beraliran surealis, arus kesadaran, arketipe, absurd, dan lainnya.
Angkatan ini lahir di antara anak-anak muda dalam barisan perjuangan.
Angkatan ini mendobrak kemacetan-kemacetan yang disebabkan oleh
pemimpin-pemimpin yang salah urus. Para mahasiswa mengadakan demonstrasi
besar-besaran menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah: bercorak perjuangan
antitirani, protes politik, anti kezaliman dan kebatilan, bercorak membela
keadilan, mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan, berontak terhadap
ketidakadilan, pembelaan terhadap Pancasila, berisi protes sosial dan politik.
Hal tersebut diungkapkan dalam karya sastra pada masa Angkatan ’66 antara
lain: Pabrik (Putu Wijaya), Ziarah (Iwan
Simatupang), serta Tirani dan Benteng (Taufik Ismail).
Berikut ini disajikan puisi Taufik Ismail, yang mencerminkan keprihatinannya
terhadap situasi negara di masa itu.
Depan Sekretaris Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Keluar jalanan
Kami semua menyanyi
“ Gugur Bunga”
Perlahan-lahan
Prajurit ini
Membuka baretnya
Air mata tak tertahan
Di puncak gayatri
Menundukkan bendera
Di belakangnya segumpal awan
(Antologi Tirani)
ALIRAN DAN GENRE SASTRA
A. Aliran Sastra
Kata mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa
Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu
bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham,
ditimbulkan karena menentang paham-paham lama (Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa
Inggris, terdapat dua kata yang maknanya sangat berkaitan dengan aliran,
yaitu periods, age, school, generation danmovements.
Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan
hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra.
Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang
dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni
(1) idealisme, dan (2) materialisme. Idealisme adalah
aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh penulisnya.
Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan
bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran
idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme,
(b) simbolik, (c)mistisisme, dan (d) surealisme.
Romantisisme adalah aliran
karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang dikemukakan
tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang.
Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat
pada pemandangan alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada
kespontanan dalam pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. Pengikut
aliran ini menganggap imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta.
Aliran ini kadangkadang berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga
timbul aliranromantik idealisme, dan romantik
realisme.
Romantik idealisme adalah aliran
kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi
dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru umumnya termasuk aliran ini.
Sementara romantik realism mengutamakan perasaan yang bertolak dari kenyataan
(contoh: puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).
Simbolik adalah aliran
yang muncul sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme. Pengarang berupaya
menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia yang secara indrawi dapat
kita cerap menunjukkan suatu dunia rohani yang tersembunyi di belakang dunia
indrawi. Aliran ini selalu menggunakan simbol atau perlambang hewan atau
tumbuhan sebagai pelaku dalam cerita. Contoh karya sastra yang beraliran ini
misalnyaTinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon
Mangga karya Maria Amin dan Kisah Negara Kambing karya
Alex Leo.
Mistisisme adalah aliran
kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan. Mistisisme
selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap keagungan Maha
Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar karya
Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan J.E.Tatengkeng.
Surealisme adalah aliran
karya sastra yang melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara serentak.
Karya sastra bercorak surealis umumnya susah dipahami karena gaya pengucapannya
yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau. Contoh karya sastra aliran
ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya
Merah karya Iwan Simatupang, dan Tumbang karya Trisno
Sumardjo.
Materialisme berkeyakinan
bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan akal
manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atasrealisme dan naturalisme.
Realisme adalah aliran
karya sastra yang berusaha menggambarkan/memaparkan/menceritakan sesuatu
sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif memandang segala
sesuatu (tanpa mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana kita tahu, Plato dalam
teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan/
realitas. Berangkat dari inilah kemudian berkembang aliran-aliran,
seperti: naturalisme, dan determinisme.
Realisme sosialis adalah aliran
karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita
perjuangan sosialis.
Naturalisme adalah aliran
karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung
berlebihan dan terkesan jorok. Aliran ini berkembang dari realisme. Ada tiga
paham yang berkembang dari aliran realisme (1) saintisme (hanya sains yang
dapat menghasilkan pengetahuan yang benar), (2) positivisme ( menolak
metafisika, hanya pancaindra kita berpijak pada kenyataan), dan (3)
determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan oleh sebab musabab tertentu).
Impresionisme adalah aliran
kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin tokoh
utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian kesan/pengaruh kepada
perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya. Beberapa pengarang
Pujangga Baru memperlihatkan impresionisme dalam beberapa karyanya.
B. Genre
Sastra
Karya sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan
drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya
saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap sama,
yakni pengalamankemanusiaan dalam segala wujud dan
dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses
pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut
membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya
sastra tersebut.
1. Puisi
Puisi adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat
pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung
dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan
secara estetik.
Susunan kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran
kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna,
citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya. Sebagai alat,
katakata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan yang ingin diutarakan
penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan
tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai
bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan dikenal sebagailisentia
poetica. Istilah ini menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi
penyair untuk mematuhi atau menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan
penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi
terikat dapat dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh
masyarakat lama, seperti pantun, syair,dan gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern
yang mulai muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan
45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat
mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap sebagai
bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang kaku
atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan demikian,
nilai puisi modern dapat dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan kepadatan
ucapan, dan bukan terletak pada jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu
ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk
komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai bentuk
hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung, (2)
pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak
terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena
komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya
tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak,
dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa
terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam
puisi yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian komunikasi dapat
berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Gejala komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi
bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5)
metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk
menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan
sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu pada fungsi bahasa untuk
menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan
gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang kita sampaikan, contoh dari
pernyataan tersebut, misalnya dalam pernyataanAku ini binatang jalang di
tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan
makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami
makna binatang jalang misalnya, pembaca dapat menggambarkannya
sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak tergantung pada
yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang jalang.
Fungsi fatis, mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan
yang digunakan dalam komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan
hubungan. Hal ini berguna untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan
bentuk-bentuk hubungan tertentu. Contoh dari pernyataan di atas misalnya,
ketika kita membawa keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, “Dari
pasar?” Kita tentunya hanya menjawab “Ya!” karena ujaran
tersebut hanya untuk menciptakan keakraban atau hubungan sosial dan tidak
mempunyai gagasan atau konsepsi apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa
yang berkaitan dengan fungsi fatis bisa juga muncul apabila
penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar
kelayakan saja.
Fungsi konatif berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa
dalam komunikasi berfungsi menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu
penanggapnya. Contoh dari pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan
“Awas jalan licin” mungkin secara refleks kita akan mengurangi
kecepatan dalam berkendaraan atau berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi
konatif itu berkaitan dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan
yang mendorong kesadaran batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati
pemahaman yang diperoleh itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu
struktur makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem
tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca
(penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni
komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu
puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) katakata atau diksi, dan (3)
penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur
bunyi yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi,
disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian
tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan
oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika membaca larik puisiAku ini binatang jalang, misalnya,
kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona,
misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk
gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang. Dalam kesadaran
batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut singa, harimau,
atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak
memuat informasi ataupun pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan
harimau”. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan
perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang
jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimaumemuat
pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita mestilah
memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak diperbandingkan atau
dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia. Dengan begitu, kita tidak
akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki empat, suka makan daging mentah,
telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan kekuatan, keberanian,
berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang
terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan dihayati
dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi kehidupan manusia
pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai kehidupan memang benarbenar
memiliki relevansi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.
2. Prosa
Prosa merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1)
bentuknya yang bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud
alineaalinea, dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini
merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-pelaku
cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita
rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel.
Sebagai cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti
pengarang, isi cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan
antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c) latar, (d)
tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang semuanya saling
berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang utuh.
Pembagian bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah
cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis
dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan
perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan perubahan
nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya
sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat
dijadikan patokan. Namun, sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan
karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit),
dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang
dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya
langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan
oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di samping itu,
cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya
semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen.
Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam
rentang waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang bervariasi (ganda).
Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara
lebih komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar
mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang diangkat
menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan
dengan cerpen. Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis
sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan
antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan
masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis,
tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga
membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.
Demikianlah sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh
unsur-unsur yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra
lazim disebut dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri,
seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa.
Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan isi karya tersebut.
Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya
sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor
ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi,
bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu
pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari
kekosongan budaya.
3. Drama
Pada dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan
itu berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada
perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi,
yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah drama adalah untuk
dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan
perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni
aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau
teater. Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra, (2) gerakan,
dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun khusus untuk dibaca
seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada itu dalam penciptaan naskah
drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Dalam hampir setiap
naskah drama selalu ditemukan narasi, dialog, dan arahan tentang petunjuk
lakuan atau akting.
PUISI
A. Pengertian Puisi
Secara etimologi kata puisi berasal dari bahasa Yunani ‘poema’ yang
berarti membuat, ‘poesis’ yang berarti pembuat pembangun, atau
pembentuk. Di Inggris puisi disebut poem atau poetry yang artinya tak jauh
berbeda dengan to make atau to create, sehingga
pernah lama sekali di Inggris puisi disebut maker. Puisi diartikan
sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat, karena memang pada dasarnya dengan
mencipta sebuah puisi maka seorang penyair telah membangun, membuat, atau
membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin (Tjahyono, 1988: 50).
Sulit membuat batasan yang memuaskan terhadap pengertian puisi. Namun
demikian perlu diterangkan beberapa definisi atau pendapat dari beberapa ahli
sastra tentang puisi, untuk memperluas pandangan mengenai pengertian puisi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian puisi adalah ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan lirik dan bait
(Depdikbud, 1988: 706).
HB. Jassin (1991: 40) mengatakan puisi adalah
pengucapan dengan perasaan. Seperti diketahui selain penekanan unsur perasaan,
puisi juga merupakan penghayatan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya di
mana puisi itu diciptakan tidak terlepas dari proses berfikir penyair. Bahkan
aktivitas berfikir dalam puisi merupakan keterlibatan yang sangat tinggi,
seperti yang diungkapkan Matheew Arnold yang dikutip Situmorang : “Poetry
is the highly organized form of intellectual activity” (Situmorang, 1983: 7).
Lebih lanjut Matheew Arnold mengatakan puisi adalah satu-satunya cara yang
paling indah, impresif, dan yang paling efektif mendendangkan sesuatu. Demikian
pula yang dinyatakan oleh John Dryen, puisi adalah musik yang tersusun rapi.
Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan menurut Isaac Newton
(Situmorang, 1991: 8 – 9). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan
puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991 : 23 )
Selain unsur musikal, puisi juga merupakan ekspresi
pikiran dan ekspresi perasaan yang bersifat imajinatif. Hal-hal seperti yang
dinyatakan para ahli yang dikutip H.G Tarigan dalam bukunya “Prinsip-Prinsip
Dasar Sastra” sebagai berikut: (a) Samuel Johnson : puisi adalah seni pemaduan
kegairahan dengan kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi sebagai pembantu
akal pikiran, (b) William Wordsworth : puisi adalah luapan spontan dari
perasaan yang penuh daya, memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan
kembali ke dalam kedamaian, (c) Lord Byron : Puisi adalah lavanya imajinasi,
yang letusannya mampu mencegah adanya gempa bumi, (d) Lescelles Abercrombie :
Puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta
berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang
diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta
bermanfaat. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa puisi adalah
bentuk karangan kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan mengekspresikan
perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama
secara imajinatif, dengan menggunakan unsur musikal yang rapi, padu dan
harmonis sehingga terwujud keindahan. Jadi puisi adalah cara yang paling indah,
impresif dan yang paling efektif dari pikiran manusia dalam bahasa emosional
dan berirama.
B. Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri
dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat
padu karena tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur yang satu dengan
unsur yang lainnya. Unsur-unsur dalam sebuah puisi bersifat fungsional dalam
kesatuannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya (Waluyo, 1991 :
25).
Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur
fisik dan struktur batin (Waluyo, 1991 : 29). Kedua bagian itu terdiri atas
unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan unsur itu membentuk totalitas
makna yang utuh.
Struktur batin puisi terdiri atas : tema, nada,
perasaan, dan amanat. Sedangkan struktur fisik puisi terdiri atas diksi,
pengimajian, kata kongkrit, majas, verifikasi dan tipografi puisi. Majas
terdiri atas lambang dan kiasan, sedangkan verifikasi terdiri dari : rima,
ritma dan metrum (Waluyo, 1991 : 28 )
Dari uraian di atas dapat disimpulkan unsur yang
membangun puisi terdiri dari dua struktur yaitu unsur fisik dan struktur
batin. Struktur fisik terdiri atas diksi, imaji, kata kongkrit, majas,
verifikasi, dan tipografi. Struktur batin terdiri dari tema, perasaan, nada, suasana dan amanat.
1. Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi
dari luar (Waluyo, 1991:71). Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah
dan bermakna yang dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana bukan
puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat.
Berikut ini akan dibahas struktur fisik puisi yang
meliputi : diksi, imajinasi, kata konkret, majas, verifikasi, majas dan
tipografi.
a. Diksi (Pilihan Kata)
Dalam menciptakan sebuah puisi penyair mempunyai
tujuan yang hendak disampaikan kepada pembaca melalui puisinya. Penyair ingin
mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang
dialami hatinya. Selain itu juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi
yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk itulah harus dipilih kata-kata
yang setepat-tepatnya. Penyair juga ingin mempertimbangkan perbedaan arti yang
sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata
yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan
irama serta kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan
kata dalam keseluruhan puisi itu. Selain itu penyair juga mempertimbangkan
urutan katanya dan kekuatan daya magis kata-kata diberi makna baru dan yang
tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair. Karena begitu pentingnya
kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam
pemilihannya (Waluyo, 1991:72)
Kalau dipandang sepintas lalu kata-kata yang
dipergunakan dalam puisi pada umumnya sama saja dengan kata-kata yang
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara kalamiah kata-kata yang
dipergunakan dalam puisi dan dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama.
Bahkan bunyi ucapanpun tidak ada bedanya (Tarigan, 1988:29)
Namun tidak demikian adanya penyair menggunakan
bahasa yang berbeda bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari
belum cukup dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu
belum cukup dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu
belum cukup bila hanya mengemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair
adalah supaya siapa saja yang membaca puisinya dapat turut merasakan dan
mengalami seperti apa yang dialami dan dirasakan penyair dalam puisinya
(Pradopo, 1980:49)
Pilihan kata berguna untuk membedakan nuansa makna
dan gagasan yang ingin disampaikan dan menemukan bentuk yang sesuai dengan
situasi dan nilai rasa sebuah puisi. Dengan memilih kata yang tepat berarti
memfungsikan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada
imajinasi pembaca seperti yang dipikirkan dan dirasakan penulis pada saat
menciptakan puisinya (Keraf, 1984:87)
Dalam memilih kata-kata yang tepat dan untuk
menimbulkan makna serta gambaran yang jelas penyair harus mengerti denotasi dan
konotasi sebuah kata (Pradopo, 1990:58). Hal ini disebabkan karena penyair
berbeda dari penyair dari penyair lainnya (karya sastra lainnya) (Situmorang,
1981:27).
Dalam menentukan pilihan kata yang tepat sering
terjadi pergumulan dalam diri penyair, bagaimana ia memilih kata-kata yang
tepat, yang mengandung arti sesuai dengan maksud puisinya baik dalam arti
denotatif maupun konotatif seperti dikatakan di atas. Hal ini dilakukan
untuk menimbulkan gambaran yang jelas pada imajinasi pembacanya maupun pada
makna puisinya (Situmorang, 1983:19).
Seperti dikatakan di atas puisi memiliki makna
masing-masing. Namun secar umum makna kata dalam puisi digolongkan menjadi dua
makna; konotasi dan denotasi. Makna denotasi artinya makna yang menunjuk pada
arti sebenarnya dalam kamus, sedangkan makna denotasi artinya kata yang
memiliki kemungkinan makna lebih dari satu (Waluyo, 1991: 73). Namun dalam
puisi (karya sastra) sebuah kata tidak hanya mengandung makna denotasi saja
(Pradopo, 1990:59). Hendaknya disadari bahwa kata dalam puisi lebih bersifat
konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-kata
dalam puisi dipilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek estetis dan juga
puitis artinya mempunyai efek keindahan yang berbeda dari kata-kata yang kita
pakai dalam kehidupan sehari-hari. Maka kata-kata yang dipilih penyair bersifat absolut dan tidak bisa
diganti. Jika diganti akan mengganggu kompisisi dan daya magis dari puisi itu
sendiri (Waluyo, 1991: 73)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
diksi adalah pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan
suasana yang diusahakan secermat dan seteliti mungkin, dengan mempertimbangkan
arti sekecil-kecilnya baik makna denotatif, maupun makna konotatif, sehingga
mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya.
Jadi diksi selain penting juga merupakan sebagian
dari ciri khas seorang penyair. Karena di antara penyair yang satu dengan
penyair yang lain berbeda dalam pemilihan diksi. Maka jelaslah bahwa diksi itu
sudah menjadi satu dengan penyairnya. Sehingga penggunaan diksi dalam puisi
kita seakan bisa mengenal orangnya (penyairnya) atau namanya. Kecakapan seorang
penyair menggunakan diksi akan membangkitkan imaji pada pembacanya (Situmorang,
1983:19).
b. Pengimajian (Imaji)
Semua penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin
yang pernah dialaminya kepada para pembacanya melalui karyanya. Salah satu
usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan
kata-kata dalam puisinya (Tarigan, 1984:30). Ada hubungan yang erat antara
pemilihan kata-kata, pengimajian dan kata konkret, di mana diksi yang dipilih
harus menghasilkan dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti yang
kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dibatasi
dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan (Waluyo,
1991: 97).
Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat
memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan energi tersebut
dapat mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang
nyata. Dengan menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani sang
penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga
mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa
jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984: 30).
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat tenaga
dan sekuat daya dengan pilihan kata dan jalinan kata agar pembacanya dapat
melihat, merasakan, mendengar seperti apa yang dilukiskan penyair melalui
fantasinya (imajinya). Dengan jalan demikian penyair dapat menarik perhatian
pembaca bahkan bisa meyakinkannya terhadap realitas dari segala sesuatu yang
digambarkannya itu (Situmorang, 183: 20).
Imaji bisa muncul pada diri seseorang, apabila
seseorang itu mau memikirkan dan mengimajinasikan sesuatu yang dibacanya
melalui perasaan. Sebab semua manusia mengalami dan melihat apa yang ada di
dunia ini melalui perasaannya. Jika kita pergi ke tepi pantai, kita melihat air laut dan pasir putih. Kita
merasakan asinnya air garam. Kita merasakan panasnya matahari di kepala kita
dan pasir panas di telapak kaki kita. Kita mendengar deburan ombak, kita dapat
merasakan dinginnya, asinnya air laut. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa
kita menikmati semuanya itu melalui pengalaman yang ada pada rasa kita. Jika
kita kehilangan atau kekurangan rasa itu, semua hal di atas tidak akan dapat kita
rasakan dan nikmati (Situmorang, 1981: 87).
Demikian pula halnya dengan penyair pada saat
menciptakan puisi. Dengan serangkaian kata penyair berusaha memunculkan daya
imajinasi dalam puisinya sehingga pembaca dapat memunculkan apa yang
disampaikan penyair dalam puisinya ke dalam pikirannya dengan perasaan. Segala
yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan
istilah imagery atau imaji atau pengimajian (Tarigan,
1984:30). Bila seseorang membaca sebuah puisi yang melukiskan indahnya suasana
pantai di pagi hari dan di saat senja datang. Maka yang muncul dalam imajinasi
kita adalah ombang yang saling berkejaran, angin yang berhembus sejuk,
kerlip-kerlip pasir pantai yang terkena sinar matahari menambah indahnya
suasana pantai. Tidak terasa panorama pantai berubah menjadi senja. Sementara
matahari tak bosannya menyengat kulit sampai hitam legam. Imajinasi ini muncul
karena kita menggunakan perasaan. Tanpa perasaan semua hal di atas tidak akan dapat kita rasakan. Pengimajian
ditandai dengan penggunaan kata kongkrit yang khas (Waluyo, 1991:79)
Effendi menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak
dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah
timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan
mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan kelingan hati untuk melihat
benda-benda, warna dengan teling hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan
perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna (Waluyo,
1991: 81).
Hal yang dilukiskan dalam imaji dapat kita hayati
secara nyata selama kita sungguh-sungguh membaca dan memahami isi dan makna
sebuah puisi (Waluyo, 1991: 79). Rahmat Djoko Pradopo menyatakan imaji adalah
gambaran pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (1990: 79).
Berdasarkan uraian dan pendapat di atas dapat
disimpulkan pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman sensoris di mana pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar,
merasakan seperti apa yang dilihat, didengar dan dirasakan penyair dalam
puisinya secara imajinatif melalui pengalaman dan rasa kita.
Dalam puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran
angan) yang dihasilkan oleh indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan,
penciuman, pemikiran dan gerakan (Pradopo, 1990: 81). Selanjutnya terdapat juga
imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif) dan
imaji cita rasa (taktil) (Waluyo, 1991: 79). Semua imaji di
atas bila dijadikan satu, secara keseluruhan dikenal beberapa macam imajinasi,
yaitu :
1) Imajinasi Visuil, yakni
imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat sendiri apa yang
dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
2) Imajinasi Auditory,
yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengarsendiri apa yang
dikemukakan penyair. Suara dan bunyi yang dipergunakan tepat sekali untuk
melukiskan hal yang dikemukakan, hal ini sering menggunakan kata-kata
onomatope.
3) Imajinasi Articulatory,
yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar bunyi-bunyi dengan
artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita membaca sajak itu
seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan mulut membunyikannya, sehingga ikut
bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya
4) Imajinasi Olfaktory,
yakni imajinasi penciuman atau pembawaan dengan membaca atau mendengar
kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu. Kita seperti mencium bau
rumput yang sedang dibakar, kita seperti mencium bau tanah yang baru dicangkul,
kita seperti mencium bau bunga mawar, kita seperti mencium bau apel yang sedap
dan sebagainya.
5) Imajinasi Gustatory,
yakni imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu kita
seperti mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan
sebagainya.
6) Imajinasi Faktual,
yakni imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian
kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas oleh tekanan udara
atau oleh perubahan suhu udara.
7) Imajinasi Kinaestetik,
yakni imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau
melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
8) Imajinasi Organik,
yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau merasakan
badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan
sebagainya.
Imaji-imaji di atas tidak dipergunakan secara
terpisah oleh penyair melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat
dan saling menambah kepuitisannya (Pradopo, 1990: 81).
c. Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca,
maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat
mengarah pada arti secara keseluruhan. Seperti halnya pengimajian, kata yang
diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa kiasan dan lambang. Jika
seorang penyair mahir dalam memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah dapat
melihat, mendengar, atau merasa seperti apa yang dilukiskan oleh penyair
(Waluyo, 1991: 81).
Sedangkan yang dimaksud dengan kata konkret sendiri
ialah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif
tidak sama karena disesuaikan dengan kondisi dan situasi pemakainya. Misalnya
pemakaian kata-kata senja, senyap, camar, bakau, teluk benang raja dalam
sajak Amir Hamzah dalam “Berdiri Aku” benar-benar merupakan kata yang sesuai
untuk mendukung makna dari puisinya (Situmorang, 1983: 20).
Dengan kata yang diperkonkret makin memperjelas
gagasan penyair dengan begitu pembaca dapat membayangkan secara jelas
peristiwa, perasaan, keadaan yang dialami penyair pada saat menciptakan
puisinya. Misalnya puisi yang berjudul : “Gadis Peminta-minta”. Untuk
melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis, gembel maka penyair
menggunakan kata-kata gadis kecil berkaleng kecil lukisan itu lebih konkret
dari pada gadis peminta ataupun gadis miskin begitu saja.
Jadi yang dimaksud konkret adalah kata yang dapat
menyarankan kepada arti yang menyeluruh, dengan demikian pembaca dapat
membayangkan secara jelas peristiwa, keadaan, maupun sesuatu yang digambarkan
penyair sehingga pembaca dapat memahami arti puisi.
d. Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau
berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa
figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu
dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengunkapkan makna
kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991: 83).
Bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang
mampu mengekspresikan makna dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat dapat
menolong pembaca merasakan dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang
dirasakan penulis. Seperti yang diungkapkan Rahmad Djoko Pradopo bahwa kias
dapat menciptakan gambaran angan/ citraan(imagery) dalam diri
pembaca yang menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair
terhadap obyek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah otak
yang bersangkutan (1990: 80).
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk
menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa figuratif mampu
menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk
menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret
dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara
menambah intensitas, (4) Bahasa Figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan
makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan
luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991: 83).
Untuk memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus
menafsirkan kiasan dan lambang yang konvensional maupun yang nonkonvensional.
Menurut uraian di atas bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan oleh
penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya
bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas
makna atau lukisan yang hendak dikemukakan penyair melalui puisinya. Bahasa
kias yang biasa terdapat dalam puisi :
1) Perbandingan/ perumpamaan
(simile)
Perbandingan atau perumpamaan (simile) ialah bahasa
kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan
kata-kata pembanding seperti bagai, bak, semisal, seumpama, laksana dan
kata-kata pembanding lainnya.
2) Metafora
Bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata
pembanding seperti bagai, laksana dan sebagainya. Metafora melihat sesuatu
dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978: 317). Metafora ini menyatakan
sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga denan yang lain yang sesungguhnya
tidak sama.
3) Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia.
Benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya. Seperti
halnya manusia dan banyak dipergunakan penyair dulu sampai sekarang.
Personifikasi membuat hidup lukisan di samping itu memberi kejelasan
beberan,memberikan bayangan angan yang konkret.
4) Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu
melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih
seksama dari pembaca.
5) Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia ini dalam bahasa
Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan
sebuah atribut sebuah obyek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat
hubungannya dengan mengganti obyek tersebut.
6) Sinekdoki (Syneadoche)
Bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian
yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam :
- Pars Prototo : sebagian untuk keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk sebagian
(Pradopo, 1990: 78).
7) Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan
atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau kejadian lain.
Perlambangan yang dipergunakan dalam puisi :
a) Lambang warna
b) Lambang benda : penggunaan benda untuk
menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan.
c) Lambang bunyi : bunyi yang diciptakan penyair
untuk melambangkan perasaan tertentu.
d) Lambang suasana : suasana yang dilambangkan
dengan suasana lain yang lebih konkret.
e. Versifikasi (Rima, Ritma dan
Metrum)
Versifikasi terdiri dari rima, ritma dan metrum.
1) Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau
orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
Dalam puisi banyak jenis rima yang kita jumpai
antara lain :
a) Menurut bunyinya :
1) Rima sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya
2) Rima tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya
3) Rima mutlak bila seluruh bunyi kata itu
sama
4) Asonansi perulangan bunyi vokal dalam satu kata
5) Aliterasi : perulangan bunyi konsonan di
depan setiap kata secara berurutan
6) Pisonansi (rima rangka) bila konsonan yang
membentuk kata itu sama, namun
vokalnya berbeda.
b) Menurut letaknya :
1) Rima depan : bila kata pada permulaan baris sama
2) Rima tengah : bila kata atau suku kata di
tengah baris suatu puisi itu sama
3) Rima akhir bila perulangan kata terletak
pada akhir baris
4) Rima tegak bila kata pada akhir baris sama
dengan kata pada permulaan baris
berikutnya.
5) Rima datar bila perulangan itu terdapat
pada satu baris.
c) Menurut letaknya dalam bait puisi :
1) Rima berangkai dengan pola aabb, ccdd……….
2) Rima berselang dengan pola abab, cdef……
3) Rima berpeluk dengan pola abba, cddc……..
4) Rima terus dengan pola aaaa, bbbb……..
5) Rima patah dengan pola abaa, bcbb……
6) Rima bebas : rima yang tidak mengikuti pola
persajakan yang disebut sebelumnya (Waluyo, 1991: 93).
7) Efoni kombinasi bunyi
yang merdu dan indah untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang, cinta
dan hal-hal yang menggembirakan.
8) Kakafoni kombinasi bunyi
yang tidak merdu, parau dan tidak cocok untuk memperkuat suasana yang tidak
menyenangkan, kacau, serba tak teratur, bahkan memuakkan.
2) Ritma
Pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek,
keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk
keindahan (Waluyo, 1991:94). Ritma terdiri
dari tiga macam, yaitu :
1) Andante : Kata yang terdiri dari dua vokal,
yang menimbulkan irama lambat
2) Alegro : Kata bervokal
tiga, menimbulkan irama sedang
3) Motto Alegro : kata yang bervokal empat yang
menyebabkan irama cepat.
3) Metrum
Perulangan kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991:94). Nama metrum
didapati dalam puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo adalah
irama yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo,
1990: 40). Peranan metrum sangat penting dalam pembacaan puisi dan deklamasi.
Ada bermacam tanda yang biasa diberikan pada tiap kata. Untuk tekanan keras
ditandai dengan ( / ) di atas suku kata yang dimaksudkan, sedangkan tekanan
lemah diberi tanda ( U ) di atas suku katanya.
f. Tipografi
Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra lain pada bentuk
tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun
atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke
bawah dan terikat dalam bait-bait.
Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang
ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu
huruf saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari
tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan
penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 1990:210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas
puisi. Tiprografi puisi merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna
tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi
bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan
sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu.
2. Struktur Batin Puisi
Struktur batin puisi atau struktur makna merupakan
pikiran perasaan yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1987: 47). Struktur batin
puisi merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna
yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan.
Tanpa penghayatan unsur-unsur puisi yang membangun
dari dalam, mustahil dapat memahami puisi secara benar. Struktur batin puisi
merupakan isi/ makna yang sesungguhnya ingin diekspresikan penyair melalui
puisinya. karena struktur batin itu merupakan sesuatu yang tersirat di balik
yang tersurat, maka pembaca harus terlibat secara mendalam, baik fisik, mental
maupun pikiran untuk mengetahui atau memahami hakekat makna sebuah puisi yang
sesungguhnya.
Menurut I.A Richards sebagaimana yang dikutip
Herman J. Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense),
perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap
pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991:
180-181). Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
a. Tema
Seorang penyair dalam menciptakan puisi selalu
mempunyai keinginan dan tujuan. Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair
kepada pembaca melalui puisinya. Keinginan berhubungan langsung dengan penyair,
penyair ingin agar apa yang menjadi makna dan isi dari puisinya dapat dipahami
dan pembaca tidak mendapatkan kesulitan dalam menafsirkan puisinya.
Sedangkan tujuan berhubungan langsung dengan pembaca, penyair berharap setelah
membaca dan memahami isi serta pesan moral dalam puisinya dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang hidup dan kehidupan.
Jika kita berhadapan dengan puisi kita tidak hanya
berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah,
namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak
diucapkan oleh penyair. Setiap puisi mengandung suatu pokok persoalan
(subject matter) yang hendak dikemukakan (Situmorang, 1983:12). Tema merupakan
gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan penyair
(Waluyo, 1991:106). Jadi jelas bahwa dengan puisinya penyair ingin mengemukakan
sesuatu bagi pembaca melalui puisinya. Sang penyair melihat, mengalami beberapa
kejadian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dia ingin mengemukakan,
mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya sendiri. Atau dengan
kata lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para
pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1985: 10). Pokok pikiran atau pokok
persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan
utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan penyair dengan
Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau
kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongann
untuk memproses ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik
sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta
atau tema kedukaan hati karena cinta (Waluyo, 1991: 106-107).
Jadi tidak ada puisi yang tidak mempunyai sesuatu
yang hendak dikemukakannya. Walaupun sering penyair sangat lihai menutup-nutupi
atau menyelubungi maksud puisinya dibalik kata-kata sehingga pembaca harus
bekerja keras untuk memahami dan menafsirkannya. Tapi pasti ada sesuatu yang
hendak dikemukakannya. Inilah yang disebutsense (Situmorang, 1983:
12).
Tema berhubungan langsung dengan pengarangnya yang
tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain falsafah
hidup, lingkungan, agama, pekerjaan dan pendidikan. (1985: 10). Hal ini
didukung oleh pendapat Herman J. Waluyo yang mengatakan bahwa tema puisi harus
dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan
(Waluyo, 1991: 106-107).
Sebuah puisi bisa menyenangkan karena bersifat
menghibur, mengemukakan sesuatu yang menarik atau mengagumkan, namun sebuah
puisi tidak hanya bersifat menghibur tetapi juga berupa nasehat-nasehat yang
berupa dorongan moral atau berupa pengajaran akan kebenaran yang bersifat
spiritual dan rohaniah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kita tidak akan dapat memahami tema dari sebuah
puisi kalau hanya membaca sekilas saja (Tjahyono, 1988:68). Karena penyair
tidak langsung membeberkan dan menjelaskan apa tema yang ada di dalam puisinya.
dengan membaca berulang-ulang sedikit demi sedikit, pembaca akan menemukan isi
dari puisi itu kemudian mengambil pengalaman yang diperoleh untuk diri sendiri
maka itu tandanya penyair telah bekerja dengan baik dan pembaca mendapatkan
kenikmatan dari puisi yang dibacanya (Situmorang, 1983: 36).
Seorang sastrawan akan merasa bangga apabila apa
yang disampaikan dalam puisinya dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh
pembaca, serta pembaca tidak mengalami kesulitan untuk menafsirkan (Sumardjo,
1982:13). Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuatu yang digambarkan
penyair dalam puisinya disebut tema, sedangkan pokok persoalan yang hendak
dikemukakan penyair dalam puisinya disebut subject matter. Jadi tema
membangun puisi secara umum dan subject matter membangun puisi
secara khusus.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan
tema adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan penyair melalui puisinya
yang mengandung suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan. Tema juga
merupakan latar belakang terciptanya sebuah puisi, yang tidak dapat dipisahkan
dari pengarangnya.
Dengan latar belakang pengetahuan yang sama,
penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah
puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991:
107). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.
1) Tema Ke-Tuhanan
Puisi-puisi bertema ke-Tuhanan biasanya akan menunjukkan religius
experience atau “pengalaman religi” penyair yang didasarkan tingkat kedalaman
pengalaman ke-Tuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat
kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan
atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991:107). Kedalaman rasa ke-Tuhanan itu tidak
lepas dari bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang,
kiasan dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair
dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin Tuhan mengisi seluruh
kalbunya. (Waluyo, 1991:108).
2) Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya martabat manusia
dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat dan
martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat dan kedudukan seseorang tidak
boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang
(Waluyo, 1991:112)
3) Tema Patriotisme / Kebangsaan
Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta aka bangsa dan tanah
air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan
mengisahkan riwayat pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan atau
melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan dalam bentuk usaha penyair
untuk membina kesatuan bangssa atau membina rasa kenasionalan (Waluyo, 1991:115)
4) Tema Kedaulatan Rakyat
Penyair begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat
dan menentang sikap sewenang-wenang pihak yang berkuasa, didapati dalam puisi
protes. Penyair berharap orang yang berkuasa memikirkan nasib si miskin.
Diharapkan penyair agar kita semua mengejar kekayaan pribadi, namun juga
mengusahakan kesejahteraan bersama.
5) Tema Keadilan Sosial
Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial
dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema keadilan sosial
adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengetuk nurani
pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.
b. Perasaan (Feeling)
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok
persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal
melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena
dalam menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus
dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991:121).
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai sikap dan
pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok yang diekspresikan.
Sikap-sikap itu mungkin saja bisa berupa kemarahan, kasihan, simpati, acuh tak
acuh, rindu, sedih, gelisah dan lain sebagainya (Tjahyono, 1988:71).
Jadi perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang
ditampilkan dalam puisinya, yang merupakan gambaran perasaan yang dialami
penyair pada saat menciptakan puisinya.
c. Nada dan Suasana
1) Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca
berkenaan dengan pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya (Tjahyono,
1988:71). Hal ini seperti dikemukakan Tarigan bahwa nada adalah sikap penyair
terhadap para penikmatnya (Tarigan, 1985: 13).
2) Dalam menulis puisi, penyair memiliki sikap
tertentu yang ditujukan kepada pembacanya, apakah penyair itu bersikap
menggurui, angkuh, membodohkan, rendah hati, mengejek, menyindir atau bersikap
lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1991:125).
3) Nada dalam puisi dapat diketahui dengan
memahami apa yang tersurat, yaitu bahasa/ ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam
puisi.
4) Nada berhubungan dengan suasana, karena nada
menimbulkan suasana tertentu pada pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa
pembaca (sikap pembaca) setelah membaca puisi, atyau akibat psikologis yang
ditimbulkan puisi terhadap pembaca (Waluyo, 1991:71). Misalnya : puisi yang
bernada duka menimbulkan suasana iba hati pada pembaca, nada khusuk dapat
menimbulkan suasana khusuk.
d. Amanat
Penyair sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara sadar atau
tidak merasa bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan hati
nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan).
Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam
puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang diungkapkan
penyair (Waluyo, 1991:130). Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau
himbauan,pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.
C.
Pembelajaran Apresiasi Puisi
Pembelajaran apresiasi sastra meliputi pembelajaran apresiasi puisi, prosa,
dan drama. Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi
sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (1) Pembelajaran
sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa. (2)
Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis
melalui bahasa. (3) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran sejarah,
aliran, dan teori sastra. (4) Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran
untuk memahami nilai kemanusiaan di dalam karya yang dapat dikaitkan dengan
nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata.
Pembelajaran apresiasi puisi dapat dilakukan dengan memadukannya dengan
empat aspek keterampilan berbahasa, yakni: mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, baik prosa, puisi, maupun
drama, siswa tidak hanya sekadar sebagai penikmat hasil sastra (pembaca atau
pendengar) saja namun siswa juga dituntut untuk kreatif menulis.
Pada pembelajaran apresiasi puisi yang berkaitan dengan tujuan tersebut
dapat dilakukan dengan cara membaca, mendeklamasikan, menciptakan puisi, dan
mendiskusikan tema, keindahan bahasa, serta hal-hal yang menarik dari puisi tersebut.
Kegiatan yang dilakukan siswa antara lain berikut ini:
(1) Puisi yang telah disiapkan guru (dapat juga
yang telah ditulis oleh siswa) dibaca oleh siswa atau dideklamasikan siswa.
Setelah siswa membaca/mendeklamasikan puisi tentu siswa memperoleh pengalaman
tentang isi, bahasa, dan gaya bahasa yang digunakan.
(2) Puisi yang telah dibaca didiskusikan dari
berbagai segi yang menarik untuk didiskusikan. Misalnya: wujudnya, sudut
penuturan, pokok yang diungkapkan, sudut pandang, perasaan yang terlibat di
dalamnya, amanat, tema, dan sebagainya. Tentang wujud puisi, dibahas antara
lain: bait, larik, dan sajak. Tentang sudut penuturan, misalnya: dibahas siapa
yang bertutur dan kepada siapa dia bertutur, serta bagaimana nada penuturannya.
Tentang pokok yang diungkapkan, dibahas hal-hal apa yang dikisahkan,
digambarkan, atau didialogkan. Tentang perasaan, dibicarakan tentang perasaan
yang terlibat di dalamnya, misalnya: sedih, gembira, rindu, benci, dan
tertekan. Tentang amanat, dibicarakan tentang apa yang ingin dibicarakan
penyair melalui puisi tersebut, juga apakah amanat dalam puisi tersebut
tersirat ataukah tersurat.
(3) Setelah dilakukan pembahasan puisi tersebut
dibaca lagi, dinikmati lagi secara utuh. Dengan demikian diharapkan pemahaman
yang lebih tinggi lagi serta pemahaman yang lebih jelas tentang puisi yang akan
dibaca.
(4) Hasil pembahasan puisi itu dihubungkan pula
dengan kehidupan masingmasing siswa sehingga puisi menjadi lebih bermakna dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Demikian kemungkinan penyajian bahan pengajaran puisi di sekolah. Untuk
pencapaian penulisan kreatif, dapat juga dilakukan kegiatan menulis puisi yang
sesuai dengan tema yang ditentukan atau dipilih siswa. Untuk menulis puisi
bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi perlu motivasi yang tinggi oleh guru
untuk membangkitkan semangat menulis puisi. Puisi yang mereka tulis dapat
dipajang di majalah dinding atau majalah sekolah.
Kebermaknaan sebuah puisi dapat dilakukan dengan memadukan bidang seni
lain. Misalnya, teknik yang dapat dilakukan guru di sekolah adalah musikalisasi
puisi, yaitu perpaduan antara seni musik dan seni sastra di kalangan siswa.
Untuk musikalisasi puisi ini diperlukan alat-alat musik yang dikuasai siswa.
Keterpaduan lain yang dapat dilakukan adalah keterpaduan antara seni lukis
dengan puisi. Sebuah lukisan bunga, misalnya, dapat ditulis dengan sebuah puisi
yang berkaitan dengan bunga tersebut sehingga ekspresi kedua bidang seni lebih
terasa.
D. Ekspresi Puisi
1. Menulis Puisi
Ekspresi tulis puisi adalah segala kegiatan yang memungkinkan kita
mendapatkan pengalaman artistik dalam menulis puisi. Pada saat Anda menemukan
peristiwa yang luar biasa, misalnya jatuhnya pesawat terbang, gerhana matahari
total, atau gelapnya siang hari karena letusan sebuah gunung berapi, perasaan
apa yang ingin Anda ungkapkan? Apabila Anda mendapatkan hadiah undian ratusan
juta rupiah atau bertemu dengan saudara yang telah beberapa tahun menghilang,
perasaan apa yang akan Anda luapkan? Sedih, gembira, bahagia, atau campuran
dari semuanya? Pengalaman tersebut merupakan bahan berharga apabila
diekspresikan melalui puisi.
Barangkali kita tidak dengan sengaja menulisnya sebagai puisi karena hanya
menuangkannya, misalnya, ke dalam buku harian. Cobalah buka kembali buku harian
Anda. Mungkin Anda akan terkejut karena di sana Anda telah menguntai kata dan
kalimat secara emotif. Hal itu tidak saja karena Anda telah mengekspresikan
diri Anda sendiri, namun kondisi manusia sebagai homo ludens ‘makhluk
bermain’ dan homo fabulans ‘makhluk bersastra’ mendorong kita untuk
melakukan semua itu.
Apabila kegiatan menulis buku harian itu kita lakukan sebagai pengisi waktu
luang, kini kita akan mencoba berekspresi secara khusus, yaitu dengan menulis
puisi lama dan modern. Kegiatan ini, meskipun khusus menulis puisi, hendaknya
jangan dianggap terlalu serius. Yang penting adalah mengembangkan imajinasi dan
emosi kreatif kita dengan sarana puisi yang sudah kita kenal, yaitu puisi lama
dan puisi modern.
a. Menulis Puisi Lama
Puisi lama merupakan puisi yang terikat oleh syarat-syarat, seperti jumlah
larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, pola rima dan
irama, serta muatan setiap bait. Silakan Anda perhatikan puisi
lama berikut:
dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta
dari mata turun ke hati.
Puisi di atas adalah salah satu bait puisi lama dalam bentuk pantun.
Apabila Anda akan menulis puisi lama dengan bentuk demikian, syaratsyarat yang
harus Anda patuhi adalah jumlah larik dalam setiap baitnya harus berjumlah
empat, jumlah suku kata dalam setiap lariknya harus antara delapan dan dua
belas, rimanya mesti berpola a-b-a-b (larik ke-1 dan larik
ke-3 mesti sama, demikian juga larik ke-2 dan larik ke-4), dan dua larik
pertama mesti memuat sampiran, sedangkan dua larik terakhir mesti memuat isi,
makna, amanat, atau pesan pantun.
Penyebutan puisi lama disebabkan adanya fenomena puisi setelahnya yang
dianggap baru. Namun, yang lebih perlu Anda pahami adalah bahwa puisi lama
merupakan pancaran masyarakat lama atau warisan budaya nenek moyang kita yang
masih hidup dalam tradisi lisan. Karena tradisi ini menuntut orang mengingat
dan menghafal, maka wajar saja jika dalam puisi lama terkandung syarat-syarat
tertentu. Di sisi lain, syarat-syarat tersebut karena dijadikan sarana dalam
berekspresi secara berulang-ulang, maka jadilah formula atau kaidah tetap yang
menjadi ciri setiap bentuk puisi. Bentuk lainnya yang juga termasuk puisi lama
adalah bidal, gazal, gurindam, mantra, masnawi, nazam, kithah, rubai, seloka,
syair, talibun, dan teromba.
Meskipun bentuk puisi lama cukup banyak, kita akan menekuninya sebagian
saja, terutama yang masih memengaruhi penulisan puisi modern, yaitu pantun,
syair, dan mantra.
(1) Pantun
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pantun merupakan ragam puisi lama.
Baitnya terdiri atas empat larik dengan rima akhir a-b-a-b. Setiap
larik biasanya terdiri atas empat kata atau delapan sampai dengan 12 suku kata
dan dengan ketentuan bahwa dua larik pertama selalu merupakan kiasan atau
sampiran, sementara isi atau maksud sesungguhnya terdapat dalam larik ketiga
dan keempat. Berdasarkan struktur dan persyaratannya, pantun dapat terbagi ke
dalam pantun biasa, pantun kilat atau karmina, dan pantun berkait.
Pantun biasa adalah pantun seperti kita kenal lazimnya dan rincian
persyaratannya telah kita singgung di atas, namun dengan tambahan, isinya
berisi curahan perasaan, sindiran, nasihat, dan peribahasa. Pantun biasa pun
dapat selesai hanya dengan satu bait. Perhatikanlah pantun berikut, yang
termasuk pantun biasa dan cukup populer karena dijadikan lirik sebuah lagu oleh
Rhoma Irama:
Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian.
Pantun kilat atau karmina memiliki syarat-syarat serupa dengan pantun
biasa. Perbedaan terjadi karena karmina sangat singkat, yaitu baitnya hanya
terdiri atas dua larik sehingga sampiran dan isi terletak pada larik pertama
dan kedua. Perhatikanlah beberapa karmina berikut:
Ada ubi ada talas,
Ada budi ada balas.
Anak ayam pulang ke kandang,
Jangan lupa akan sembahyang.
Satu dua tiga dan empat,
Siapa cepat tentu dapat.
Pantun berkait, kadang-kadang juga disebut dengan pantun berantai,
merupakan pantun yang sambung-bersambung antara bait satu dan bait berikutnya.
Dengan catatan, larik kedua dan keempat setiap bait pantun akan muncul kembali
pada larik pertama dan ketiga pada bait berikutnya:
Tanam melati di rumah-rumah
ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua.
Ubur-ubur sampingan dua
Tanam melati bersusun bangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh besusun bangkai
Meskipun pantun merupakan puisi lama, tidak ada yang akan melarang apabila
kita memanfaatkannya sebagai sarana pergaulan kini. Terlebih-lebih, aspek
didikan dan hiburan sebagai fungsi sastra dalam mayarakat lampau kita tidak
terpisahkan di dalamnya. Contoh pantun di atas dapatlah dijadikan sebagian
bukti.
Apabila kata-kata dalam contoh pantun tersebut dianggap terlalu arkais dan
kemelayu-melayuan, kita dapat menggantinya dengan bahasa yang kita gunakan
sehari-hari. Tentunya, semua kita lakukan dengan tetap mengikuti formula dan
syarat-syarat sebuah pantun. Misalnya, dalam acara hiburan di salah satu
televisi swasta, pantun yang bersifat humor telah menjadi paket acara
tersendiri. Dalam acara rekreasi ke tempat objek wisata, ulang tahun, atau
perpisahan, berbalas pantun melalui iringan gitar dapat pula dijadikan kegiatan
pelepas lelah dan media berkenalan. Dengan pantun kita pun dapat memanfaatkan
kelebihan dan kekurangan orang lain atau diri sendiri sebagai bahan gelak tawa,
lelucon, dan banyolan yang dapat menyegarkan suasana. Di sela-sela kesibukan
kuliah pun kita dapat membuat pantun, seperti berikut ini:
silau lentera di dalam tenda
tikus sawah di atap bambu
walau usia masihlah muda
lulus ujian tetaplah perlu.
burung perkutut di atas galah
kayu cendana dibuat bangku
tuntut ilmu tiada lelah
jadi sarjana cita-citaku
Apabila formula pantun di atas dianggap cukup panjang, kita dapat
memanfaatkan karmina sebagai alat pergaulan. Biasanya para remaja menuliskan catatan
tambahan dalam surat yang dituliskannya kepada
seorang teman dengan karmina berikut:
empat kali empat enam betas,
sempat tidak sempat harus dibalas.
Seorang ketua tingkat dapat pula menempelkan secarik kertas di papan
pengumuman dengan karmina berikut:
makan kupat disiram kuah,
jangan lupa kita kuliah.
(2) Syair
Syair bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad
ke-13, seiring dengan masuknya agama Islam ke nusantara. Seperti halnya pantun,
syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap larik terdiri atas
empat kata atau antara delapan sampai dengan dua belas suku kata. Akan tetapi,
syair tidak pernah menggunakan sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang
terdapat dalam syair memuat isi syair tersebut. perbedaan pantun dan syair
terletak juga pada pola rima. Apabila pantun berpola a-b-a-b, maka
syair berpola a-a-a-a.
Karena bait syair terdiri atas isi semata, maka antara bait yang satu dan
bait lainnya biasanya terangkai sebuah cerita. Jadi, apabila orang akan bercerita,
syair adalah pilihan yang tepat. Cerita yang dikemas dalam bentuk syair
biasanya bersumber dari mitologi, religi, sejarah, atau dapat juga rekaan
semata dari pengarangnya. Syair yang cukup terkenal yang merupakan khazanah
sastra nusantara, misalnya Syair Perahu karya Hamzah
Fansuri, Syair Singapura Dimakan Api karya Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi, Syair Bidasari, Syair Abdul Muluk, Syair Ken
Tambunan, Syair Burung Pungguk, dan Syair Yatim Nestapa.
Marilah kita sejenak memperhatikan beberapa bait pengantar Syair
Burung Pungguk:
Bismillah itu mulia dikata
Limpah rahmat terang cuaca
Berkat Mohammad penghulu kita
Ialah penghulu alam pendeta
Al rahman itu sifat yang sani
Maknanya murah amat mengasihani
Kepada mumin hati nurani
Di situlah tempat mengasihani
Al rahim itu pengasihan kita
Kepada Allah puji semata
Itulah Tuhan yang amat nyata
Memberi hambanya berkata-kata
Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang oleh dagang yang hina
Sajaknya janggal banyak tak kena
Dari pada akal belum sempurna
(3) Mantra
Mantra adalah rangkaian kata yang mengandung rima dan irama. Masyarakat
zaman dulu percaya bahwa mantra itu mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya
diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi kekuatan
gaib lainnya. Namun, hakikat mantra itu sendiri adalah doa yang diucapkan oleh
seorang pawang dalam keadaan trance ‘kerasukan’. Di dalam
mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan kekuatan bunyi yang
bersifat sugestif.
Karakteristik mantra memang sangat unik. Karena keunikan itulah kita tidak
dapat membandingkan bentuknya dengan puisi yang telah kita singgung sebelumnya,
baik dengan pantun maupun syair. Terlebih-lebih, mantra hanya dapat dilontarkan
oleh orang yang dianggap telah memiliki syarat-syarat tertentu. Namun, untuk kepentingan
ekspresi, tidak ada salahnya apabila kita mencoba untuk membuat mantra.
Meskipun formula mantra tidak sekaku pantun dan syair, kita perlu juga
mengetahuinya sehingga memudahkan kita untuk menyusunnya. Menurut Umar Junus
(1983:135), ciri-ciri mantra adalah sebagai berikut:
a. Di dalam mantra terdapat rayuan dan perintah.
b. Mantra mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi.
c. Mantra menggunakan kesatuan pengucapan.
d. Mantra merupakan sesuatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami
melalui bagian-bagiannya.
e. Mantra merupakan sesuatu yang tidak dipahami oleh
manusia karena merupakan sesuatu yang serius.
f. Dalam mantra terdapat kecenderungan esoteris (khusus)
dari kata-katanya.
Sebagai contoh marilah kita perhatikan mantra berikut ini, yang biasa
diucapkan pawang ketika mengusir anjing galak.
Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gunung guntung,
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.
Kita belajar untuk membuat mantra bukan karena kemanjuran dan daya gaibnya
sebab anggapan seperti itu hanya terdapat dalam keyakinan dan kepercayaan nenek
moyang kita dahulu. Kita kini mempelajarinya sebagai kegiatan kreatif dalam
penulisan puisi. Terlebih-lebih puisi modern yang akan kita bicarakan nanti
masih memanfaatkan puisi lama, khususnya pantun dan mantra, sebagai alat ucap
puitiknya.
b. Menulis Puisi Modern
Puisi modern dianggap berbeda dengan puisi lama sehingga ada yang
menyebutnya dengan “puisi baru”. Karena puisi modern tidak terikat lagi oleh
syarat-syarat seperti pantun, syair, dan mantra, maka ada juga orang yang
menyebutnya dengan “puisi bebas”. Selain itu puisi modern adalah puisi yang
ditulis kini dan ada di sekitar kita kini, maka ada juga yang menyebutnya
dengan “puisi mutakhir” dan “puisi kontemporer”.
Puisi lama dengan puisi modern meskipun berbeda tidaklah bertolak belakang
sepenuhnya. Dalam pertumbuhan awal puisi modern kita masih dapat melihat
pengaruh puisi lama di dalamnya, seperti tampak dalam puisi Sanusi Pane
berikut:
DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad,
Dengan damai mereka meninjau,
Kehidupan bumi, yang kecil amat.
Aku bernyanyi dengan suara,
Seperti bisikan angin di daun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun.
Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tdak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Puisi di atas terdiri dari empat larik setiap baitnya, per larik lebih
kurang empat kata atau delapan sampai dengan dua belas suku kata dan berpola
rima akhir a-b-a-b. Apabila kita perhatikan selintas, puisi
tersebut sama dengan pantun. Namun, apabila kita telaah lebih lanjut ternyata
di dalamnya tidak terdapat sampiran. Apakah puisi ini berbentuk syair? Syair memang
tidak memiliki sampiran, akan tetapi rima akhirnya mesti berpola a-a-a-a.Selain
itu, isi puisi di atas bukanlah cerita melainkan tumpahan rasa sebagai manusia
yang tengah terombang-ambing sendirian di atas perahu dan di laut lepas.
Gambaran manusia seperti itu tampaknya bukanlah khusus ditujukan kepada
pengarangnya sendiri melainkan untuk manusia pada umumnya. Dengan demikian
puisi ini memang menggambarkan manusia secara konkret, namun justru untuk
menunjukkan keadaannya yang abstrak. Dengan kata lain, puisi ini menyimbolkan
hidup manusia. Kecanggihan semacam ini tampaknya tidak pernah terdapat dalam
puisi lama, baik pantun maupun syair.
Di samping itu ada juga penyair modern yang menunjukkan pembaharuan puisi
dengan sarana estetika puisi lama. Hal itu dapat dianggap sebagai ironi atau
kritik terhadap puisi lama, seperti tampak dalam puisi Rustam Effendi berikut:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
musti merantut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
sebab terkurang lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Sanusi Pane dan Rustam Effendi adalah sastrawan yang tergolong ke dalam
Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini hidup sekitar tahun 1930-an sampai dengan
awal tahun 40-an. Akan tetapi pengaruh puisi lama terhadap puisi modern
tidaklah berhenti pada angkatan tersebut. Para penyair setelahnya, seperti
Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Sitor Situmorang pun masih menampakkan pengaruh
itu, seperti tampak pada puisi “Beta Patti Rajawane”. “Mantera”, dan “Lagu
Gadis Itali”. Bahkan, dalam puisi-puisi mutakhir kini, seperti karya Sutardji
Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar unsur-unsur lama itu tampak
sekali. Semua itu dapat membuktikan bahwa para penyair modern tidak membuang
begitu saja warisan para pendahulunya, melainkan menjadikannya sebagai sarana,
bahan pengalaman artistik dan estetik, serta titik tolak penciptaan puisinya.
Dengan kata lain, mereka masih tetap mempertimbangkan tradisi para
pendahulunya.
Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa untuk sampai pada pemahaman
puisi modern, kita dapat bertolak dari puisi lama. Demikian pula untuk sampai
pada penulisan puisi modern, kita dapat memulainya dengan menulis puisi lama.
Jadi, tidaklah sia-sia kreativitas yang telah kita lakukan. Sekarang marilah
kita mempersiapkan diri untuk membuat puisi modern. Namun, sebelum sampai pada
proses kreatif penciptaan yang bersifat idividual, kita akan bersama-sama
mencoba untuk melatih imajinasi dan daya kreatif kita dengan mengikuti latihan
berikut.
(1) Mendeskripsikan Objek Konkret secara Emotif
Objek konkret yang kita inderai seperti: kucing peliharaan, bunga melati, gunung,
laut, dan air terjun dapat menjadi bahan pokok puisi kita. Penyair Abdul Hadi
W.M. (dalam Eneste, ed,. 1984) pernah berujar, “Saya paling suka menulis puisi
jika hujan sedang turun atau sambil melihat kolam air yang memantulkan
bayang-bayang benda di atasnya atau langit”. Jika penyair saja menyukai objek
yang kasatmata sebagai ilham bagi puisi-puisinya apalagi kita yang baru mau
belajar. Cara yang mudah adalah dengan mendeskripsikan seluk-beluk objek
tersebut. Akan tetapi, karena kita tengah berlatih menulis puisi, deskripsi
kita hendaknya dibangun dengan menggunakan bahasa yang bersifat emotif.
Misalnya, ketika tengadah ke langit malam hari, seseorang takjub pada ribuan
bintang yang tertebar di atas langit. Kemudian, ia mendeskripsikannya melalui puisi
berikut:
Bintang
kemerlap jauh di atas sana
tertebar di langit hitam
Bintang
bertebaran ribuan jumlah
berhamburan melimpah ruah
Bintang, bintang, bintang!
Kapan kau terhampar di tanah
agar manusia tak kehilangan arah.
1972
(2) Mengurai Nama Diri
Nama adalah identitas pokok diri kita. Manusia dapat saling mengenal dan
menyapa karena memiliki nama. Betapa kecewanya seseorang saat namanya tidak
tercantum dalam daftar orang-orang yang berhak mengikuti ujian. Saat
mendapatkan ratusan nama yang berhak mendapatkan hadiah undian sebuah produk
sabun di sebuah surat kabar, tentu Anda tidak bergembira karena nama Anda tidak
tercantum di dalamnya. Sebaliknya, Anda berteriak kegirangan manakala huruf A
sejajar dengan nama Anda dalam sebuah daftar nilai ujian. Semua membuktikan
bahwa kita sangat peduli dengan nama kita sendiri.
Kepedulian terhadap nama diri dapat dimanfaatkan untuk belajar menulis
puisi. Caranya, yaitu dengan menderetkan nama kita secara vertikal. Misalnya,
orang yang bernama Rizal dapat mengurai namanya seperti berikut:
R
I
Z
A
L
Kemudian, kembangkanlah imajinasi dan kreativitas Anda untuk melanjutkan
setiap inisial atau huruf awal tersebut. Yang paling mudah adalah menguraikan
keadaan atau pengalaman diri sendiri. Anggap saja, misalnya Rizal adalah seorang
remaja yang sedang melamun untuk sampai pada hari ulang tahunnya yang ketujuh
belas. Ia menulis namanya di buku harian dengan mengurainya menjadi sebuah
puisi.
Riangnya hati ketika datang suatu hari
ltulah ulang tahun yang telah lama dinanti
Zikir dan syukur kepada-Nya
Adalah tindakan yang paling utama
Lalu, aku undang semua teman dan saudara
(3) Menulis Puisi Berdasarkan Tokoh dalam Sejarah, Mitologi, atau dalam
Karya Sastra
Karya sastra cerpen, novel/roman, drama, atau puisi yang telah kita baca dapat
juga dijadikan media dalam belajar menulis puisi. Apabila Anda menyenangi tokoh
tertentu dalam sebuah novel, Anda dapat saja menulis puisi berdasarkan tokoh
tersebut. Puisi tersebut dapat merupakan suara tokoh tersebut (tokoh menjadi
aku lirik), atau komentar kita mengenai tokoh tersebut. Selain karya sastra,
tokoh dalam sejarah, wayang, atau mitologi dapat juga kita jadikan bahan
penulisan puisi. Sebagian besar di antara kita tentu sudah mengetahui bahwa
salah satu puisi Chairil Anwar yang berjudul “Diponegoro” atau puisi Amir
Hamzah yang berjudul “Hang Tuah” bersumber dari mitos pahlawan. Perhatikanlah
puisi berikut, yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Puisi tersebut bersumber
dari cerita wayang, yaitu Arjuna Sasrabahu atau Sumantri
Ngenger.
PESAN
Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan
jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencintai, dan antara disengaja
dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh
dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan….
(4) Mengkonkretkan Puisi dengan Bantuan Gambar
Kadang-kadang orang yang memiliki bakat lebih dari satu seni tidak akan
pernah puas ketika dia membuat sebuah karya seni. Ada sebagian penyair yang
mengkonkretkan puisi dengan tambahan gambar atau membentuk tipografi puisi
sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, ada juga pelukis yang menambahkan
kata-kata ke dalam lukisannya, seperti yang terjadi pada Zaini atau Herry Dim.
Untuk puisi, kita dapat menyebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai salah seorang
penyair puisi konkret. Kemudian, apa yang terbayang dalam benak kita ketika
membaca puisi Akhudiat berikut ini:
( ( (plung) ) )
Puisi yang dikonkretkan melalui gambar, yang dikenal dengan puisi konkret,
memang bukan hal yang baru. Di Amerika penyair E.E. Cummings pernah
melakukannya, demikian pula penyair Appolonaire di Prancis. Apabila kita kini
belajar menulis puisi konkret, tentu tujuannya bukan untuk membuat pembaharuan,
melainkan untuk merangsang dan mengembangkan imajinasi. Hal ini dapat kita
mulai, misalnya dengan membuat puisi tentang bunga, rumah, atau benda konkret
lainnya, kemudian tipografi dan kaligrafinya kita susun sehingga serupa dengan
objek yang kita jadikan bahan penulisan puisi.
(5) Menulis Puisi Berdasarkan Pengalaman Diri
Kita sering kali mendengar kata-kata, ” Orang dapat menulis puisi ketika
sedang jatuh cinta”, atau “Kesedihan akan berkurang apabila dituangkan melalui
puisi”. Kata-kata tersebut, meskipun belum tentu menghasilkan puisi yang
bermutu dari segi estetik, dapat Anda manfaatkan sebagai bahan berlatih dalam
menulis puisi. Terlebih-lebih, manusia sebagai makhluk hidup tidak akan luput
dari pengalaman, baik yang menyedihkan maupun yang membahagiakan. Pengalaman
itu tidak perlu Anda tunggu sampai datang karena Anda dapat menghadirkan
kembali pengalaman yang telah lampau. Ketika Chairil Anwar ditinggal nenek yang
dicintainya, ia sangat sedih. Namun, kesedihan itu ia konpensasikan menjadi
kegiatan kreatif sehingga ia mampu menciptakan sajak berikut:
NISAN
untuk neneknda
bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Beberapa cara latihan di atas tampaknya masih umum sebab tujuannya sekedar
merangsang imajinasi agar dapat berkreasi dengan menulis puisi. Namun,
manfaatnya tak dapat diragukan sebab untuk belajar menulis puisi tidak ada
jawaban lain, seperti kata Saini K.M., kecuali…”Tulis!”
2. Membacakan Puisi
Istilah “baca puisi” (poetry reading) sudah akrab di
telinga kita. Untuk meluncurkan antologi puisinya, penyair sering kali
mengadakan acara baca puisi sebelum kritikus mengulasnya. Acara hari-hari
besar, seperti HUT RI, Hari Pahlawan, atau acara penarik simpati dan solidaritas
terkadang juga diisi dengan baca puisi. Selain itu, acara khusus yang bersifat
kompetisi pun sering kali diselenggarakan.
Akan tetapi, perdebatan acap kali muncul manakala baca puisi dikaitkan
dengan istilah lainnya, yaitu “deklamasi”. Kedua istilah itu ada yang
membedakannya secara hitam putih sehingga muncul fenomena yang aneh. Baca puisi
adalah berdiri mematung dengan teks puisi di tangan serta berusaha tidak
bergerak dan deklamasi adalah membaca puisi yang telah dihafal dengan tambahan
gerak artifisial. Apakah pembedaan itu memang demikian?
Memang harus kita akui, pemahaman orang terhadap kedua istilah tersebut
belumlah sama. Mursal Esten (1987) dan Erizal Gani (1989) menganggap deklamasi
dan baca puisi merupakan fenomena seni yang berbeda.
Dalam membedakan kedua istilah itu, biasanya orang langsung menghubungkan
dengan kiprah Rendra sepulang dari Amerika. Baca puisi, katanya, merupakan
oleh-oleh Rendra dari Negeri Paman Sam, yang langsung menggilas tradisi
deklamasi di tanah air. Padahal, Rendra sendiri tidak membedakan kedua istilah
itu. Bahkan, di Barat pembedaan baca puisi tidak dihubungkan dengan deklamasi
melainkan dikontraskan dengan puisi oral (oral poetry). Menurut
Preminger (1974:967–970), baca puisi merupakan tradisi baru, yaitu tradisi
masyarakat yang telah mengenal dunia baca-tulis atau keberaksaraan, sementara
puisi oral sebaliknya, yaitu tradisi masyarakat yang masih berada dalam dunia
keniraksaraan.
a. Dasar-Dasar dan Petunjuk dalam Membaca Puisi
Apabila kita menyaksikan orang membaca puisi, adegan itu sebenarnya hanya
merupakan tahap akhir yang tampak ke permukaan. Kualitas tahap akhir ini
bergantung pada tahap-tahap sebelumnya yang dapat kita sebut tahap dasar.
Menurut Aritonang (1990), dasar-dasar baca puisi itu mencakup olah vokal, olah
musikal, olah sukma, olah mimik, olah gerak, dan wawasan kesastraan. Apabila
dasar-dasar ini telah kita kuasai, selanjutnya kita akan sampai pada proses
pembacaan. Dalam proses pembacaan inilah kita berusaha mencapai kualitas baca
puisi secara optimal. Hal itu dapat dimungkinkan apabila kita mengikuti tahap
pembacaan sebagai berikut:
a. Membaca dalam hati (agar puisi tersebut terapresiasi
secara penuh).
b. Membaca nyaring (agar pembaca dapat mengatur daya
vokal, tempo, timbre, interpolasi, rima, irama, dan diksi).
c. Membaca kritis (dengan mengoreksi pembacaan
sebelumnya: segisegi apa yang masih kurang dan bagaimana cara mengatasinya).
d. Membaca puitis.
Untuk sampai pada pembacaan puisi yang kita idam-idamkan, yaitu membaca
puitis, kita dapat juga mengikuti petunjuk yang disarankan oleh Mursal Esten
(1987):
a. Perhatikanlah judul puisi.
b. Lihatlah kata-kata yang dominan.
c. Selamilah makna konotatif.
d. Dalam mencari dan menemukan makna, yang benar
adalah makna yang sesuai dengan struktur bahasa.
e. Tangkaplah pikiran yang ada dalam puisi dengan memparafrasekannya.
f. Jawablah apa dan siapa yang dimaksud dengan
kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat yang diberi tanda kutip.
g. Temukanlah pertalian makna tiap unit puisi
(kata demi kata, frase demi frase, larik demi larik, dan bait demi bait).
h. Carilah dan kejarlah makna yang masih tersembunyi.
i. Perhatikanlah corak dan aliran sajak yang kita baca (imajis,
religius, liris, atau epik?).
j. Tafsiran kita terhadap puisi mesti dapat kita kembalikan kepada
teks puisi itu sendiri.
b. Rampak Puisi
Istilah rampak puisi tampaknya hanya dikenal di daerah
Jawa Barat sebab merupakan analogi dari rampak kendang. Barangkali istilah ini
sepadan dengan istilah yang digunakan oleh Rusyana (1982), yaitu “paduan baca”
puisi.
Rampak puisi dapat dianggap sebagai varian dari baca puisi sebab pembacanya
masih mengandalkan teks puisi. Perbedaannya, apabila baca biasa dilakukan oleh
seorang pembaca, rampak puisi lazimnya dilakukan oleh lebih
dari satu orang. Selain itu, rampak puisi memiliki beberapa keuntungan.
Misalnya, dalam membaca puisi epik atau naratif, pembaca puisi tunggal harus
dapat membedakan narasi dan karakter tokoh, sedangkkan dalam rampak puisi,hal
itu merupakan tugas bersama. Dalam membaca puisi, sebut saja, “Penangkapan
Sukra” secara rampak, kita tinggal menyesuaikan para pembaca
dengan karakter tokoh: siapa yang menjadi narator, Sukra, Putra Mahkota,
perempuan yang menjerit, dan kelompok koor. Sebagian pembaca dapat juga
bertugas memberi efek suara tertentu, seperti suara serigala, kuda, tombak yang
dihentakkan, suara batin Sukra. atau suara keramaian orang.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, rampak puisi tidak perlu
memanfaatkan pentas secara optimal. Pembaca puisi hanya berusaha agar
pembacaannya puitis dan agar tidak mengganggu pandangan penonton, para pembaca
mestilah mengatur posisi bacanya sehingga “enak” dipandang.
c. Dramatisasi Puisi
Dalam Kamus lstilah Sastra (1986) suntingan Panuti
Sudjiman disebutkan bahwa dramatisasi sepadan dengan istilah “dramaan”. Batasan
kedua istilah tersebut adalah pengalihan karya sastra, baik puisi, cerpen, dan
lainnya menjadi drama. Dengan demikian, dramatisasi puisi dapat berarti
“mendramakan puisi”. Dalam hal ini, puisi mesti tunduk pada kaidah-kaidah drama.
Misalnya, apabila dalam konvensi drama terdapat kramagung/teks samping/petunjuk
pengarang dan wawancang/dialog/ cakapan, maka dalam dramatisasi puisi pun
demikian. Pendeknya, jika kita akan menampilkan dramatisasi puisi di atas
pentas, syarat utama yang harus kita lakukan adalah memahami terlebih dahulu
konvensi drama pentas sehingga kita mesti menguasai penataan pentas
(skeneri), blocking danacting yang benar.
Dramatisasi puisi memang mesti bertolak dari puisi. Akan tetapi, agar puisi
itu sesuai dengan kaidah pemanggungan, maka seyogianyalah apabila puisi
tersebut ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam drama.
d. Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi adalah menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Dengan
demikian, antara puisi dan musik harus memiliki keselarasan. Sepintas memang
tidak terdapat perbedaan antara musikalisasi puisi dan lagu yang diiringi
musik. Bukankah lagu juga bersumber dari lirik puisi? Syair atau lirik lagu
biasanya dibuat setelah musik tercipta. Namun, dapat juga pemusik menciptakan
musik dan lirik lagunya secara bersamaan. Bahkan, Ebiet G. Ade biasa membuat
syair terlebih dahulu sebelum menyusun partitur musiknya. Meskipun demikian,
tidak ada keharusan bagi pemusik untuk tunduk kepada lirik lagu. Jika perlu,
untuk menyelaraskan lirik dengan musik dapat saja kita mengubah atau mengganti
kata-kata syair tersebut. Dalam musikalisasi puisi tidaklah demikian. Hal itu
disebabkan puisinya sudah tercipta dan merupakan salah satu bentuk seni, yaitu
karya sastra. Dengan demikian,
dalam musikalisasi, aransemen musik tidak boleh mengubah puisi. Puisi harus
tetap utuh. Di sinilah kita dituntut untuk lebih kreatif karena dalam
musikalisasi puisi yang ideal, aransemen musik mesti dapat menangkap karakter
puisi yang digubah. Misalnya, puisi yang bersuasana muram dan sedih
selayaknyalah apabila ditampilkan dalam nada dan irama musik yang bernuansa
muram dan sedih pula.
Contoh konkret musikalisasi puisi sebenarnya sudah kita kenali. Misalnya,
grup Bimbo pernah menyanyikan lagu “Salju” yang bersumber dari puisi Wing Karjo
atau “Sajadah Panjang” yang bersumber dari puisi Taufik Ismail. Akan tetapi,
grup Bimbo tidak pernah mengkhususkan diri pada musikalisasi puisi. Puisi-puisi
yang mereka gubah barangkali karena dianggap sesuai dengan karakter musik
mereka. Contoh yang sangat tepat untuk musikalisasi adalah album kaset Hujan
Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi yang diproduksi
oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kedua album ini memang khusus
direkam untuk kepentingan musikalisasi puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono.
Untuk kepentingan apresiasi puisi, memusikalisasi puisi dapat dijadikan
kegiatan penguatan(reinforcement). Yang penting, Anda memiliki
kepekaan rasa sehingga dapat menyelaraskan karakter musik dengan puisi yang
kita pilih sebagai lirik lagunya. Kita pun tidak perlu terpaku pada
musikalisasi puisi yang telah ada. Misalnya, apabila Anda mengadakan lomba
musikalisasi puisi, materi lomba tidak perlu puisi yang sudah dimusikalisasi
karena ini akan menimbulkan pemajalan daya kreativitas. Biarkanlah peserta
lomba berkreativitas untuk memadukan karakter puisi dengan musik yang
dimainkan. Alat musik pun tidak harus selamanya gitar, piano, biola, dan alat
musik modern lainnya. Alat musik etnik, seperti rebana, rebab, kecapi, gamelan,
gong, dan gendang dapat menghasilkan musikalisasi puisi yang eksotik dan ebih
bernuansa warna lokal. Bukankah yang membuat menarik pementasan musikalisasi
puisi kelompok Sanggar Matahari Jakarta dan Kiai
Kanjeng-nya Emha Ainun Nadjib adalah musik etniknya juga? Kemudian, apabila
kita hubungkan dengan karakter puisi Indonesia, bukankah unsur-unsur etnik atau
warna lokal juga merupakan bagian senyawa yang tak terpisahkan?
PROSA
A. Prosa
dan Unsur-Unsurnya
1. Pengertian Prosa dan Jenis-Jenisnya
Definisi dari prosa itu sendiri ialah karangan
bebas yang tidak terikat oleh banyaknya baris, banyaknya suku kata, serta tak
terikat oleh irama dan rimanya seperti dalam puisi. Sehingga prosa dapat
dibedakan menjadi prosa lama dan prosa baru.
a. Prosa Lama
Yang termasuk dalam prosa lama ialah:
1) Hikayat
Yang termasuk dalam prosa lama ialah:
1) Hikayat
Ialah yang mengisahkan tentang kehidupan raja-raja dewa-dewa.
Dalam hikayat biasanya melukiskan kesaktian atau kehebatan pelakunya.
1) Cerita-cerita Panji
Disebut juga hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa yang berkisah tentang 4 kerajaan di pulau Jawa yaitu : kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singosari.
Disebut juga hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa yang berkisah tentang 4 kerajaan di pulau Jawa yaitu : kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singosari.
2) Cerita Berbingkai
Ialah cerita yang di dalamnya ada pula ceritanya. Cerita dalam cerita itu disebut cerita sisipan. Kadang kala cerita sisipan itu di dalamnya ada pula cerita. Sehingga cerita berbingkai ini menjadi cerita yang bersusun-susun.
Ialah cerita yang di dalamnya ada pula ceritanya. Cerita dalam cerita itu disebut cerita sisipan. Kadang kala cerita sisipan itu di dalamnya ada pula cerita. Sehingga cerita berbingkai ini menjadi cerita yang bersusun-susun.
3) Tambo
Ialah cerita sejarah yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, karena dicampurkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Ialah cerita sejarah yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, karena dicampurkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
4) Dongeng
Ialah cerita yang lahir dari khayalan pengarangnya. Jadi dongeng bukan merupakan cerita yang benar-benar terjadi.
Menurut isinya dongen dapat dibagi menjadi :
1. Dongeng yang lucu ialah cerita yang menggelikan. Contoh: Si Kabayan, Abu Nawas, Jaka Kendil, Pak Belalang.
2. Fabel ialah dongeng tentang binatang. Contoh: Buaya dan Kera, Si Kancil, Anjing yang Loba, Pelanduk Jenaka
3. Sage ialah dongeng yang di dalamnya terkandung unsur sejarah. Contoh Lutung Kasarung, Damarwulan, Ciyung Wanara, Angleng Darma.
4. Legenda ialah dongeng yang mengada-ada dihitungkan dengan kenyataan dalam alam. Contoh: Gunung Tangkuban Perahu, Si Malin Kundang Anak Durhaka, Nyai Rara Kidul, dll.
Ialah cerita yang lahir dari khayalan pengarangnya. Jadi dongeng bukan merupakan cerita yang benar-benar terjadi.
Menurut isinya dongen dapat dibagi menjadi :
1. Dongeng yang lucu ialah cerita yang menggelikan. Contoh: Si Kabayan, Abu Nawas, Jaka Kendil, Pak Belalang.
2. Fabel ialah dongeng tentang binatang. Contoh: Buaya dan Kera, Si Kancil, Anjing yang Loba, Pelanduk Jenaka
3. Sage ialah dongeng yang di dalamnya terkandung unsur sejarah. Contoh Lutung Kasarung, Damarwulan, Ciyung Wanara, Angleng Darma.
4. Legenda ialah dongeng yang mengada-ada dihitungkan dengan kenyataan dalam alam. Contoh: Gunung Tangkuban Perahu, Si Malin Kundang Anak Durhaka, Nyai Rara Kidul, dll.
b. Prosa Baru
Bila dalam prosa lama kita dibawa pada alam khayal
atau santai, namun dalam prosa baru kita dibawa pada peristiwa-peristiwa yang
kita hayati dan alami tiap hari.
Prosa baru dapat dibedakan menjadi:
Prosa baru dapat dibedakan menjadi:
1) Roman
Ialah cerita
yang melukiskan sesuatu kehidupan manusia, baik perbuatan lahir
maupunperistiwa-peristiwa batinnya.
2) Novel
Bila dalam roman biasanya dikisahkan seluruh kisah hidup tokohnya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa sampai meninggal dunia, tetapi dalam novel yang dilukiskan hanya sebagian dari hidupnya tokoh cerita, yaitu bagian hidupnya yang merubah nasib tokoh tersebut. Bila roman beraliran romantik, sedangkan novel beraliran ralisme(kenyataan),
kadang-kadang naturalisme(alamiah).
Bila dalam roman biasanya dikisahkan seluruh kisah hidup tokohnya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa sampai meninggal dunia, tetapi dalam novel yang dilukiskan hanya sebagian dari hidupnya tokoh cerita, yaitu bagian hidupnya yang merubah nasib tokoh tersebut. Bila roman beraliran romantik, sedangkan novel beraliran ralisme(kenyataan),
kadang-kadang naturalisme(alamiah).
3) Cerpen
Ialah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak. Dalam novel kritis (pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib, tetapi dalam cerpen kritis tersebut tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.
Ialah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak. Dalam novel kritis (pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib, tetapi dalam cerpen kritis tersebut tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.
4) Kisah
Dalam kesusastraan modern kisah sama saja dengan cerita biasa, yaitu yang menceritakan tentang sesuatu hal baik benda hidup maupun benda mati.
Dalam kesusastraan modern kisah sama saja dengan cerita biasa, yaitu yang menceritakan tentang sesuatu hal baik benda hidup maupun benda mati.
5) Biografi dan Otobiografi
Biografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh orang lain.
Otobiografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh diri sendiri.
Biografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh orang lain.
Otobiografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh diri sendiri.
6) Esai
Esai ialah suatu kupasan atau pembicaraan tentang obyek kebudayaan atau seni. Peninjauan obyek itu sendiri pandangan penulis esai tersebut, itulah sebabnya esai bersifat subyektif. Penulis esai tidak menggubah sesuatu, ia hanya membicarakan suatu cipta hasil karya orang lain.
Esai ialah suatu kupasan atau pembicaraan tentang obyek kebudayaan atau seni. Peninjauan obyek itu sendiri pandangan penulis esai tersebut, itulah sebabnya esai bersifat subyektif. Penulis esai tidak menggubah sesuatu, ia hanya membicarakan suatu cipta hasil karya orang lain.
2. Prosa Naratif dan Unsur-Unsurnya
Bagian
ini membahas unsur-unsur prosa naratif/narasi (kisahan). Dalam buku
berjudul Membaca Sastra prosa narasi didefinisikan sebagai
semua teks/karya rekaan yang tidak berbentuk dialog, yang isinya dapat
merupakan kisah sejarah atau sedereran peristiwa. Ke dalam kelompok ini dapat
dimasukkan roman/novel, cerita pendek, dongeng, catatan harian, otobiografi,
biografi, anekdot, lelucon, roman dalam bentuk surat-menyurat (epistoler),
cerita fantastik maupun realistik.
Pada
dasarnya prosa naratif dibangun oleh dua unsur,
yaitu unsur intrinsik danunsur ekstrinsik. Unsur instrinsik
meliputi segala unsur yang membangun daridalam karya
sastra itu sendiri. Unsur yang membangun
dari dalam antara lain: a) plot, b) penokohan dan
perwatakan, c) sudut pandang (point of view), d) latar atausetting, dan e)
tema.
Unsur
ekstrinsik adalah segala unsur dari luar karya sastra yang turut
membangun sebuah karya sastra. Dalam buku yang berjudul
Sastra Indonesia Pengantar Teoridan Apresiasi dikatakan bahwa
segi ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar karya
sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. (1988: 45).
Rene
Wellek dan Austin Warren mengatakan, bahwa unsur ekstrinsik karya sastra
adalah keadaan subyektifitas individu pengarang yang
memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan
mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur biografi pengarang
akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik
yang lain adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup
proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip
psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang
seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya
sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Ada juga unsur
ekstrinsik yang berupa pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya
seni yang lain dan sebagainya. (1991: 75-135).
Unsur-unsur pembangun prosa
naratif dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Unsur Intrinsik
1) Tema
Jika kita membaca cerita fiksi misalnya novel, sering terasa bahwa pengarang
tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi cerita saja,
namun ada konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita itu. Alasan pengarang
hendak menyajikan cerita karena akan mengemukakan suatu gagasan, ide
atau pilihan utama yang mendasari suatu cerita karya
sastra itu yang biasa disebut tema. Dengan adanya tema membuat karya
sastra lebih penting dari pada bacaan hiburan.
Mochtar Lubis menyatakan bahwa suatu cerita
pendek harus mempunyai dasar (tema). Dasar inilah yang paling penting
dari seluruh cerita, jika tidak mempunyai dasar tidak ada artinya
sama sekali dan atau tidak berguna (1986: 18). Supaya mendapat
gambaran yang jelas tentang pengertian tema, penulis akan mengutip pendapat
para ahli. M. Saleh Saad menyatakan, “Tema adalah sesuatu yang
menjadi pikiran, sesuatu yang menjadipersoalan bagi pengarang. Di dalamnya terbayang pandangan hidup
atau cita-cita pengarang, bagaimana ia melihat persoalan itu.” (1989: 118). Pendapat ini sesuai dengan
pendapat M.S. Hutagalung yang menyatakan, “Tema adalah persoalan yang berhasil menduduki tempat utama dalam cerita.” (1987:
77). Jakob Sumardjo dan Saini KM juga menyatakan, “Tema adalah ide
sebuah cerita.” (1996: 56).
Adapun Suhariyanto menyatakan, “Tema disebut juga
dasar cerita yakni pokok permasalahan yang
mendominasi suatu karya sastra dari halaman akhir.” (1982: 28).
Sedangkan Aminuddin menyatakan, “Tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita hingga berperanan juga sebagai pangkal
tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.” (1985:
25). Lebih lanjut Hartono dan Rahmanto menyatakan tema adalah merupakan
gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang
terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (1986: 142).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya
yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan
situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran
atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu,
termasuk unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah
bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema itu pun bersifat
menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema
mempunyaigeneralisasi yang umum, lebih luas dan abstrak. Dengan
demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, hal itu haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian
tertentu cerita.
Tema menurut Stanton (1965: 21) yaitu tema
sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian
besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema menurutnya kurang lebih
bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama
(central purpose). Tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan
sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk memberikan
saksi sejarah, atau mungkin sebagai reaksiterhadap praktek
kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Tema adalah masalah hakikimanusia,
seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan,
keterbatasan, dan sebagainya.
Pengarang yang baik mempunyai tema
yang universal dan mempunyai kesanggupan untuk menjabarkan tema
tersebut menjadi sub-sub yang menyangkut kehidupan pribadi. Meskipun
pengarang tersebut sanggup menulis detil-detil kehidupan yang kecil, namun yang
penting bukan detil itu sanggup mengirimkan
kilau yang indah dan memberi kesan bahwa
kilau-kilau ini tidak terjadi oleh detil saja, namun oleh
keseluruhan (Budi Darma, 1984: 68-69).
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah
disimpulkan bahwa tema adalah inti persoalan, pokok pembicaraan merupakan
dasar penceritaan serta merupakan patokan dalam menggerakkan cerita
dari awal sampai akhir.
Tema tidak perlu selalu berwujud moral
atau ajaran moral, tema hanya bisa terwujud pengamatan pengarang terhadap
kehidupan. Tema yang akan dijadikan dasar penciptaan karya sastra biasanya
diambil dari hal-hal yang menarik bagi seorang pengarang yang bersumber
pada pengalaman kehidupannya, misalnya kisah kehidupan manusia yang penuh
konflik, kesengsaraan, cinta baik itu nama manusia maupun dirinya
sendiri. Konflik inilah yang menimbulkan persoalan-persoalan yang
menarik untuk diangkat dan dijadikan bahan cerita.
Pengarang yang baik mampu menemukan tema
hakiki manusia. Ia mempunyai kekuatan mata seperti rontgen yang dapat menembus tubuh
manusia dan seperti televisi kuat yang dapat menangkap gambar-gambar
dari pemancar-pemancar yang jauh, serta menerima suara-suara masyarakat,
dan lagi bagaikan memiliki indera tambahan yang mampumenangkap
getaran masyarakat yang menderita (Budi Darma, 1984: 69). Mochtar Lubis
menyatakan bahwa wilayah pengarang luas sekali, seolah-olah tanpa batas. Wilayah yang
paling baik adalah menjelajah ke “ruang dalam” manusia sendiri, artinya kepada
batin manusia yang memiliki berbagai permasalahan kehidupan (1980:
182).
Dalam cerita novel yang berhasil, tema
justru tersamar dalam seluruh elemen. Pengarang menggunakan dialog-dialog dengan tokoh-tokoh,
jalan pikiran, perasaan, kejadian-kejadian, dan setting cerita.
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung
dari segimana penggolongan itu dilakukan.
Pengkategorian tema yang akan dibahas berikut ini ada tiga macam
antara lain: 1) yang bersifat tradisional dan nontradisional, 2) dilihat
daritingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan c) dari tingkat
keutamaannya.
Penggolongan tema tersebut di atas dapat
diuraikan sebagai berikut:
a) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema
yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti telah lama
dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagaicerita, termasuk cerita lama.
Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagaitema yang bersifat
tradisional itu, misalnya:
(1) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan
(2) tindak kejahatan
walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga
(3) tindak kebenaran
atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik
ala ketara).
(4) cinta yang
sejati menuntut pengorbanan
(5) kawan sejati adalah
kawan di masa duka
(6) setelah menderita, orang baru teringat Tuhan
(7) atau (seperti pepatah-pantun)
berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, dan sebagainya.
Tema-tema tradisional, walau banyak variasinya
boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan
kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972: 66).
Tema nontradisional adalah tema yang tidak
sesuai dengan harapan pembaca, karena bersifat melawan arus, mengejutkan,
bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif
yang lain.
b) Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962: 417), mengartikan tema
sebagaisubyek wacana, topik umum, atau masalah utama yang
dituangkan ke dalam cerita.Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan
semuanya ada lima tingkatan. Kelima
tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) Tema tingkat fisik,
manusia sebagai molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada
tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya efektifitas fisik
daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik
kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.
(2) Tema tingkat organik, manusia
sebagai protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih
banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas,
suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Berbagaipersoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan kehidupan
seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan
pengkhianatan suami istri, atau skandal-skandal seksual yang lain.
(3) Tema tingkat sosial,
manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan
tempat aksi interaksi manusia dengan sesama dan dengan lingkungan
alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi obyek pencarian tema.
Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi,
politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan
atasan bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang
biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
(4) Tema tingkat egoik, manusia
sebagai individu, man as individualism. Di samping
sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang
senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitas-nya. Dalam
kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun
mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud
reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.
Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri,
atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang padaumumnya lebih
bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan.
Masalahindividualitas biasanya menunjukkan jati diri, citra diri,
atau sosok kepribadian seseorang.
(5) Tema tingkat divine,
manusia sebagai makhluk tinggi, yang belum tentu setiap manusia
mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema
tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang Pencipta,
masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya
seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Karya sastra yang bersifat
kontemplatif (ketafakuran) pun dapat dikategorikan ke dalam tema
tingkat ini.
c) Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema utama atau tema pokok cerita, atau tema mayor artinya
makna pokok cerita dasar atau gagasan dasar umum karya itu,
Menentukan tema pokok atau tema utama sebuah cerita pada hakikatnya
merupakan aktifitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, diantara sejumlah
makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan.Makna pokok cerita tersirat dalam
sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan, cerita, bukan
makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentucerita saja. Makna pokok cerita bersifat merangkum
berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada
karya itu.
Tema tambahan atau tema minor adalah makna
yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat
diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna tambahan. Makna
tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan
makna utama keseluruhan cerita. Bahkan sebenarnya, adanya koherensi yang erat antar
berbagaimakna tambahan inilah yang akan memperjelas makna pokok cerita.
Jadi, makna-makna tambahan itu, atau tema-tema minor itu, bersifat mempertegas
eksistensi makna utama, atau tema mayor.
1) Tokoh
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang
mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita.
Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda
yang diinsankan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua
yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak
mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral
protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan
nilai-nilai pisitif.
b) Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral
antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan
protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh
sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a) Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh
bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b) Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh
yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c) Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang
menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang
diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis,
wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali
(misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b) Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang
seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami
perubahan watak.
2) Penokohan
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra
tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a) Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu
penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b) Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu
penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang
disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran
lingkungan atau tempat tokoh.
c) Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak
tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh,
yaitu
a) Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya,
terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b) Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita
dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita
atau pria, kasar atau halus.
c) Melalui penggambaran fisik tokoh.
d) Melalui pikiran-pikirannya
e) Melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat
berhubungan dan saling mendukung.
3) Alur
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan
peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
a) Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur
dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear
b) Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat.
Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
c) Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema
cerita disebut alur tematik.
Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya.
Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita.
Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita
adalah
a) Bagian awal
1. paparan (exposition)
2. rangkasangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
b) Bagian tengah
4. tikaian (conflict)
5. rumitan (complication)
6. klimaks
c) Bagian akhir
7. leraian (falling action)
8. selesaian (denouement)
Bagian Awal
Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya,
dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang
mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan
bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau
eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya
sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita
tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu
ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan,
penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan
emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan
ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah
padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.
Bagian Tengah
Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan
yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks
cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh
dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita.
Bagian Akhir
Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan
perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau
penutup cerita.
Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting
yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting
tersebut adalah
a) faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu
peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi
masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah
terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik
klimaks.
b) Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa
sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.
c) Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa
tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan
peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.
Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau
digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak
berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang
dihadapi dalam cerita.
Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur
mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya
sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah
rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur
yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat
dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu
a) alur berdasarkan urutan waktu
b) alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c) alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang
beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu
episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu
dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di
samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian
peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga, alur balik.
Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur
datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari
gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah
alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.
4) Latar (Setting)
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan
waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi
penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan,
ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim,
lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
Macam Latar
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah
tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak
mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang
menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup
penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan,
cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
Fungsi Latar
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana
adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. mencitkana suasana tertentu
4. menciptakan kontras
5) Sudut Pandang (Point Of View)
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan
pencerita orang ketiga.
1. Pencerita orang pertama (akuan).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara
bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami
peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya
penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu
a.
Pencerita akuan
sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam
cerita tersebut.
b.
Pencerita akuan
taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi
tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut
pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam
peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya
penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
a.
Pencerita diaan
serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh
dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi
komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
b.
Pencerita diaan
terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau
melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya
melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh
pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh
pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan
cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.
Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a) Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient
point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu
segalanya.
b) Sudut penglihatan obyektif (objective point of
view). Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya
disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c) Point of view orang pertama. Pengarang sebagai
pelaku cerita.
d) Point of view peninjau. Pengarang memilih salah
satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini.
Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a) Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang
berhubungan dengan waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam mendekati
materi cerita.
b) Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang
berhubungan dengan perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa
yang diceritakannya.
c) Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang
yang menyangkut hubungan atau keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok
masalah yang diceritakan. Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan
sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang impersonal
(di luar cerita).
Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang.
Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang
merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan
merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu
a) Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b) Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c) Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan
sorotan terutama kepada tokoh utama.
d) Pengarang serba tahu.
6) Gaya Bahasa
Bahasa dalam cerpen memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang. Namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa cerpen ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas. Nada pada karya sastra merupakan ekspresi jiwa.
7) Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada para
pembaca melalui karyanya, yang akan disimpan rapi atau disembunyikan pengarang
dalam keseluruhan cerita.
b. Unsur Ekstrinsik
Selanjutnya
dalam uraian ini penulis akan menguraikan salah satu unsur
ekstrinsik saja yaitu berupa faktor sejarah. Obyek karya sastra adalah realitas, apabila
realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat:
1) Mencoba menterjemahkan
peristiwa itu dalam bahasa imajinatif dengan maksud untuk
memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang.
2) Karya sastra dapat menjadi sarana
bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan
mengenai suatu peristiwa sejarah.
3) Seperti juga karya sejarah, karya
sastra dapat merupakan penciptaan kembalisebuah peristiwa sejarah
sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasipengarang.
Karya
sastra yang menyajikan peristiwa sejarah sebagai bahan, dapat berupa
puisiatau prosa. Dalam peristilahan ilmu sejarah, peristiwa sejarah
sering dicakup dalam istilah fakta sejarah. Dalam hal ini fakta
sejarah mempunyai arti kembar, yaitu: “a thing done, an
action, deed, event” (artinya tindakan, aksi,
perbuatan, peristiwa, pertandingan, perlombaan).
Termasuk di sini perbuatan-perbuatan tunggal
seperti baris-berbaris, penarikan bendera, pembacaan naskah Proklamasi,
yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, atau nama umum
bagi peristiwa sejarahitu,
yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, fakta sejarah dapat
berupa “a particular truth” (kebenaran fakta) misalnya
menurunnya kemakmuranIndonesia pada akhir abad ke-19 fakta yang merupakan
generalisasi dari sejumlah sejarah fakta-fakta khusus yang
menunjukkan gejala umum.
Peristiwa
sejarah sebagai bahan baku diolah secara berbeda oleh tulisan sejarah
dan oleh karya sastra. Dalam tulisan sejarah, bahan
baku ditulis sejarah itu telah diproses melalui prosedur
tertentu. Dari sumber-sumber sejarah sejarawan harus melakukan
kritik, intrepretasi, dan sintesa sampai ia sanggup menyuguhkan rekonstruksi sejarah.
Bagi sejarawan, fakta sejarah merupakan apa yang disebutoleh William James (dalam
Psikologi) seperti: “irreducable and stubborn facts”.Bahkan
sejarawan dituntut untuk hanya mengemukakan “apa yang sesungguhnya
terjadi”. Sejarawan harus bertolak dan
selalu kembali kepada fakta dalam usahanya untuk
merangkai peristiwa sejarah menjadi kesatuan yang utuh. Dengan
bahan-bahan itu sejarawan mencari system of interaction yaituhubungan
antara fakta-fakta secara memadu.
Karya
sastra mempunyai pendekatan lain. Peristiwa sejarah dapat
menjadi pangkal tolak bagi sebuah karya sastra, menjaadi bahan
baku, tetapi tidak perludipertanggungjawabkan terlebih dahulu. Peristiwa
sejarah, situasi, kejadian, perbuatan, cukup diambil dari khasanah
accepted bagi hal-hal dari masa
lampauatau dari commonsense (pikiran sehat)
bagi peristiwa-peristiwa kontemporer (Kuntowijoyo, 1987: 127-130).
B. Pembelajaran
Apresiasi Prosa
Pembelajaran prosa yang ditawarkan antara lain sebagai berikut: (1) Membaca
cerita pendek atau novel dan mendiskusikan cara penyampaian pesan atau amanat
yang terdapat dalam karya sastra tersebut. (2) Membahas konflik yang terdapat
dalam cerita pendek atau novel/ roman.
Kegiatan awal yang dilakukan guru adalah mempersiapkan cerpen atau novel
yang akan digunakan sebagai bahan pembelajaran apresiasi prosa. Pada kegiatan
tersebut guru menandai bagian mana yang akan didiskusikan dengan siswanya,
apakah alur, tema, tokoh, sudut pandang, atau amanat dalam prosa tersebut.
Selain itu guru harus memperhitungkan waktu yang tersedia dalam kegiatan
pembelajaran tersebut. Hal lain yang penting adalah adanya gagasan pokok yang
akan disampaikan kepada siswa yang merupakan acuan ke arah pembentukan moral
mereka. Gagasan pokok tersebut ibarat niat guru dalam membelajarkan siswa di
dalam pembentukan moral, pembentukan kepribadian siswa sesuai dengan tujuan
pembelajaran sastra di dalam kurikulum.
Selain persiapan guru, persiapan siswa juga diperlukan. Mengingat membaca
cerpen memerlukan waktu yang cukup lama, diperlukan dulu membaca di luar jam
tatap muka di kelas (misalnya dengan tugas membaca di rumah). Pada waktu
membaca, siswa ditugasi memberi tanda pada bagian-bagian yang perlu
dipertanyakan, atau memberi tanda bagian yang menarik perhatiannya di dalam
cerpen yang dibacanya.
Setelah guru dan siswa mempunyai kesiapan untuk pembelajaran cerpen, di
kelas berlangsung kegiatan diskusi tentang cerpen tersebut. Hal ini tentunya
guru sudah mempersiapkan rambu-rambu dalam kegiatan diskusi tersebut.
Rambu-rambu tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Peristiwa cerita, dapat dimulai dengan cara mengajukan pertanyaan
berikut:
a. Peristiwa apa yang dikemukakan pengarang untuk mengawali ceritanya?
b. Apa peristiwa selanjutnya?
c. Adakah hubungan antara peristiwa-peristiwa tersebut?
2. Tokoh dan penokohan, diskusi dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Melihat para tokoh, siapa tokoh utama, bawahan atau tambahan?
b. Mengapa disebut sebagai tokoh utama atau tambahan?
c. Dari sudut fungsiya, siapakah yang disebut sebagai tokoh protagonist dan
antagonis?
d. Mengapa disebut tokoh protagonis dan antagonis?
e. Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, adakah tokoh seperti itu?
3. Latar (waktu, tempat, dan suasana), dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a. Di mana peristiwa itu terjadi?
b. Kapan peristiwa itu terjadi?
c. Berapa lama peristiwa itu berlangsung?
d. Pada suasana apa peristiwa itu terjadi?
4. Sudut pandang, diskusi dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Dari sudut pandang siapa peristiwa itu diceritakan pengarang?
b. Bukti-bukti apa yang memperlihatkan sudut pandang tersebut?
5. Tema, kegiatan diskusi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Apa tema cerita?
b. Di bagian mana tersirat tentang tema?
c. Apa yang menjadi bukti bahwa tema tersurat dalam cerita?
6. Amanat, dapat didiskusikan sebagai berikut:
a. Apakah amanat yang ada dalam cerita?
b. Apakah amanat tersebut secara tersurat atau tersirat?
c. Apakah amanat tersebut dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari?
7. Kesan
Apa kesan siswa tentang cerita yang didiskusikan
merupakan pertanyaan untuk membangkitkan perasaan siswa terhadap isi cerita.
Kelancaran diskusi tentang kesan yang dipelajari sangat tergantung pada
aktivitas yang dilancarkan guru dalam menggiring pertanyaan-pertanyaan yang
membangkitkan apresiasi siswa. Pertanyaan yang diajukan tidak hanya pertanyaan
yang bersifat kognitif, tetapi juga pertanyaan yang bersifat afektif dan
psikomotor.
B. Ekspresi Prosa
1. Menulis Prosa
Menulis buku harian merupakan upaya pembiasaan agar kita memiliki
kompetensi keterampilan menulis. Awalnya mungkin kita hanya menulis catatan
penting, seperti agenda kerja atau agenda kegiatan sehari-hari. Hal itu
merupakan langkah awal yang baik. Kegiatan itu dapat kita lanjutkan dengan
mencatat peristiwa penting, misalnya gempa bumi, tabrak lari, atau pencurian.
Peristiwa tersebut dapat kita kembangkan dengan melibatkan imajinasi kita
sehingga tokohnya diberi karakter tertentu, peristiwanya dijalin lebih memikat,
dan latarnya dirinci secara detil. Apabila kegiatan ini masih dianggap sulit,
kita dapat melakukan kegiatan menulis secara sederhana, yaitu menarasikan
pengalaman yang telah kita lakukan dari bangun tidur hingga ketika akan tidur
kembali.
Beberapa kegiatan yang telah kita lakukan dalam menulis puisi dapat kita
manfaatkan juga untuk kepentingan menulis prosa, khususnya cerpen. Kegiatan
yang dimaksud adalah mendeskripsikan objek konkret secara emotif dan menulis
cerpen berdasarkan tokoh dalam sejarah, mitologi, atau karya sastra lainnya.
Para sastrawan acap kali menggunakan fakta cerita dalam sejarah atau
mitologi sebagai teks dasar karyanya. Misalnya novel Burung-Burung
Manyar karya Y.B. Mangun Wijaya memunculkan tokoh-tokoh nyata ketika
zaman revolusi kemerdekaan, seperti Amir Syarifudin. Seno Gumira Ajidarma
memunculkan tokoh-tokoh wayang dalam novel Kitab Omong Kosong, atau
Hermawan Aksan memunculkan kembali tokoh Diah Pitaloka, Puteri
Sunda yang menjadi martir dalam perang yang tidak seimbang antara Kerajaan
Pajajaran dan Majapahit, yang dikenal dengan Perang Bubat. Mari kita perhatikan
salah satu penggalan cerpen karya Putu Wijaya berjudul “Bisma”. Resi Bisma yang
dalam mitologi pewayangan dihormati, disegani, dan dijunjung tinggi oleh pihak
Kurawa dan Pandawa karena sebagai sesepuh Kerajaan Astina, dalam novel tersebut
dimunculkan secara ganjil dan lucu.
Bisma bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur
jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu pralaya dalam perang Bharatayuda.
Tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak agung ditancap
oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih sudah kisut,
akan tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah memikul
pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.
Namun, satu hal yang perlu kita cermati, Hal yang dilakukan sastrawan
bukanlah untuk menjiplak karya yang sudah ada, melainkan untuk mereaksi,
menanggapi, atau melakukan dialog dengan karya-karya sebelumnya. Bahkan, cara
ini menarik minat para pakar sastra sehingga memunculkan kajian sastra dengan
menggunakan pendekatan resepsi sastra dan intertekstualitas.
Menulis prosa pun dapat kita lakukan dengan cara memperhatikan konvensi
yang terdapat dalam sebuah karya prosa. Jika cara ini yang kita pilih, maka
kita harus mempehatikan hal-hal berikut:
1) Tentukanlah tema cerpen berdasarkan persoalan
yang Anda kuasai, kemudian konkretkan tema tersebut dengan judul yang menarik
dan sesingkat mungkin, misalnya tidak lebih dari lima kata.
2) Sadarilah bahwa cerpen yang konvensional
selain menyertakan judul dan pengarangnya harus juga dilengkapi aspek formal
cerpen lainnya, yaitu adanya narasi dan dialog tokoh.
3) Kembangkanlah tema ke dalam unsur-unsur
cerpen, seperti fakta cerita (alur, tokoh, dan latar), sarana cerita (sudut
pandang, penceritaan, dan gaya bahasa).
4) Padukanlah unsur-unsur cerpen dengan
memperhatikan kaidah alur, yaitu peristiwa disusun secara logis dan kronologis,
menghadirkan suspense ‘rasa ingin tahu’ membuat surprise ‘kejutan’ dan menjalin
seluruh unsur cerpen sehingga tampak utuh.
2. Membacakan Prosa dan Paduan Baca Prosa
Ekspresi prosa biasanya dilakukan dengan membacakan cerpen atau dongeng,
baik oleh sendiri maupun oleh beberapa orang yang disebut dengan paduan baca
cerpen. Selain itu, ekspresi prosa dapat dilakukan dengan mendramatisasi
cerpen.
Dalam membacakan cerpen, kita dapat juga mengikuti teknik seperti dalam
membacakan puisi. Pertama, cerpen kita baca dalam hati. Langkah pertama ini
bertujuan agar kita dapat mengakrabi cerpen sehingga maknanya dapat kita
selami. Langkah kedua adalah dengan membacakan cerpen secara nyaring. Kita
upayakan agar setiap kata dalam kalimat, setiap kalimat dalam paragraf, dan
setiap paragraf dalam cerpen tersebut dapat kita hidupkan dengan alat
artikulasi kita. Dalam langkah kedua ini kita dapat mencoba untuk mengucapkan
narasi dan dialog-dialog cerpen sesuai dengan karakter masingmasing. Pembaca
pun dapat berlanjut ke langkah yang ketiga, yaitu memperhatikan kapan intonasi
ditekan, tempo diperlambat atau dipercepat, volume suara diperkecil atau
diperbesar, dan nada direndahkan atau ditinggikan. Agar pembacaan tidak
berubah-ubah, pembaca dapat menandai bagian-bagian yang mendapat penekanan
tersebut dengan menggunakan alat tulis, misalnya tinta warna dan penggaris.
Dengan demikian, pembacaan cerpen dapat diulang-ulang hingga sampai pada
langkah yang keempat, yaitu pembacaan cerpen yang estetis. Namun, tentu saja
untuk sampai pada pembacaan cerpen yang estetis diperlukan latihan
berulang-ulang. Oleh sebab itu, membaca kritis harus dilakukan, misalnya kita
tidak perlu ragu untuk meralat atau merevisi bagian-bagian yang sudah kita
tandai.
Hal serupa dengan langkah membacakan cerpen dapat juga kita lakukan dalam
paduan baca cerpen, namun dengan pembagian tugas yang jelas. Misalnya, siapa
yang akan menjadi narator dan siapa yang akan menjadi tokoh-tokoh dalam cerpen.
3. Mendongeng dan Mendramatisasi Prosa
Mendongeng atau bercerita dapat menjadi kegiatan ekspresi prosa yang
mengasyikkan sebab juru dongeng biasanya bertutur tanpa teks sehingga ia pun
dapat memanfaatkan raut muka, gerak-gerik, dan anggota tubuhnya untuk
memperkuat karakter tokoh-tokoh dongeng. Bahan dongeng dapat berupa cerita
rakyat, seperti mite, legenda, fabel, dan cerita jenaka.
Apabila juru dongeng atau pendongeng di daerah nusantara bercerita dengan
bahasa daerah dan khazanah daerah masing masing, maka kita dapat memanfaatkan
cerita rakyat se-Nusantara yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia
sehingga sastra-sastra daerah itu dapat dikenal lebih luas dalam skala
nasional.
Apabila mendongeng dilakukan secara perseorangan, dramatisasi prosa dapat
dilakukan secara berkelompok. Seperti halnya dramatisasi puisi, dramatisasi
prosa pun harus mengikuti kaidah-kaidah yang terdapat dalam drama.
Misalnya, apabila kita akan mendramatisasi cerpen atau cerita rakyat, kedua
karya itu harus dialihkan terlebih dahulu ke dalam naskah drama. Misalnya,
narasi cerpen diubah menjadi petunjuk pemanggungan sehingga yang dialog
tokoh-tokohnya tampak menonjol. Berikut ini akan dikutip sebuah penggalan teks
cerpen, kemudian dialihkan ke dalam teks drama.
Penjaga kuburan mendekatinya dan bertanya, ”Kenapa Nenek menangis ?”
Diangkatnya kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan itu agak lama,
dan suaranya yang gemetar dan tua itu berkata, “Kalaulah cucuku dapat bertanya
seperti engkau itu.” Dia berhenti sebentar, dihapusnya air matanya. “Engkau
sendiri bekerja di sini ?” tanyanya kemudian.
“Ya.”
“Sepantasnya engkau masuk surga, Nak”
Kemudian penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan Nenek itu
berkata, “Kuburan-kuburan disini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini,
kau bersihkanlah kuburanku balk-baik, Nak.”
“Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.” Kata penjaga
kuburan itu.
“Benar, saya masih akan lama hidup ?”
“Benar Nek.”
(Motinggo Boesje dalam Hoerip, 1979c: 136)
PANGGUNG MENYERUPAI TEMPAT PERKUBURAN. TAMPAK DI SEBUAH
NISAN SEORANG NENEK SEDANG DUDUK, MENUNDUK, DAN
MERENUNGI BATU NISAN ITU. PENJAGA KUBURAN MENDEKATI NENEK
PENJAGA KUBURAN : Kenapa Nenek menangis ?
NENEK : (memandang penjaga kuburan, suaranya gemetar)
Kalaula cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.
(menghapus air mata)
Engkau sendiri bekerja di sini?
PENJAGA KUBURAN : Ya.
NENEK : Sepantasnya engkau masuk surga, Nak!
(penjaga kuburan duduk di semen kuburan dekat Nenek)
Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau saya nanti
dikuburkan di sini,
kau bersihkanlah kuburanku baik-baik, Nak.
PENJAGA KUBURAN : Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan
hidup.
NENEK : Benar, saya masih akan lama hidup ?
PENJAGA KUBURAN : Benar, Nek.
DRAMA
A. Hakikat Drama
Konsep drama mengacu kepada dua pengertian, yaitu
dram sebagai naskah dan drama sebagai pentas. Pembicaraan dram tentang naskah
akan lebih mengarah kepada dasar dari telaah drama. Naskah drama dapat
dijadikan sebagai bahan studi sastra, dapat dipentaskan, dan dapat dipagelarkan
dalam media audio, berupa sandiwara radio atau kaset. Pagelaran pntas dapat di
depan publik langsung, dapat juga di dalam televisi. Untuk pagelaran drama di
televisi, penulisan naskah drama sudah lebih canggih, mirip dengan scenario
film.
Istilah drama berasal dari bahasa Yunani “draomai”
yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama berarti
perbuatan, tindakan atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan, atau action. Dalam
kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau apakah drama
sebagai salah satu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yang
mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan
dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yang
merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu,
seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan sebagainya. Jika kita
membicarakan drama pentas sebagai kesenian mandiri, maka terbayang dalam ingatan
kita pada wayang, ketoprak, ludruk, lenong, dan film. Dalam kesenian tersebut,
naskah drama diramu dengan berbagai unsur untuk membentuk kelengkapan (Waluyo,
2003: 2).
Pembedaan terminologi isitilah drama biasanya
didasarkan pada wilayah pembicaraan, apakah yang dimaksud drama naskah atau
drama pentas. Drama naskah adalah sebagai salah satu jenis karya sastra yang
ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konlik batin dan kemungkinan
dipentaskan. Moulton (dalam Waluyo, 2003: 2) memberi batasan drama (pentas)
sebagai hidup manusia yang dilukiskan dengan action. Hidup
manusia yang dilukiskan dengan action itu terlebih dulu
dituliskan, maka drama –baik naskah maupun pentas- berhubungan dengan bahasa
sastra. Telaah drama harus dikaitkan dengan sastra.
Sebagai karya sastra, bahasa drama adalah bahasa
sastra karena itu sifat konotatif juga dimiliki. Pemakaian lambang, kiasan,
irama, pemilihan kata yang khas, dan sebagainya berprinsip sama dengan karya
sastra yang lain. Akan tetapi karena ditampilkan dalam drama adalah dialog,
maka bahasa drama tidak sebeku bahasa puisi, dan lebih cair daripada bahasa
prosa. Sebagai potret atau tiruan kehidupan, dialog drama banyak berorientasi
pada dialog yang hidup dalam masyarakat.
Perkataan drama sering dihubungkan dengan teater.
Sebenarnya perkataan “teater” mempunyai makna yang lebi hluas karena dapat
berarti drama, gedung pertunjukan, panggung, grup pemain drama, dan dapat juga
berarti segala bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak.
Pengertiannya ditentukan oleh konteks pembicaraan. Kita mengenal istilah
Jakarta Teater (gedung bioskop), Teater Arena (Gedung Pertunjukan), Bengkel
Teater (grup drama), Tater Tradisional (jenis tontonan drama), dan sebagainya.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah “ssandiwara”.
Istilah ini diambil dari bahasa Jawa “sandi” dan “warah”, yang berarti
pelajaran yang diberikan secara diam-diam arau rahasia (sandi artinya rahasia,
dan warah artinya pelajaran). Istilah sandiwara radio, sandiwara televisi,
sandiwara kaset, sandiwara pentas menunjukkan bahwa kata sandiwara dapat
menggantikan kata drama. Dalam bahasa Belanda istilah sandiwara ini disebut
dengan nama “tonil” (toneel) (Waluyo, 2003: 2-4).
B. Struktur
Naskah Drama
Menurut Waluyo (2003: 6) drama naskah disebut juga
sastra lakon. Sebagai salah satugenre sastra, drama naskah dibangun
oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantih, makna). Wujud
fisik sebuah naskah adalah dialog atau ragam tutur. Ragam tutur itu adalah
ragam sastra.Oleh sebab itu, bahasa dan maknanya tunduk pada konvensi sastra,
yang menurut Teeuw meliputi hal-hal berikut ini.
1. Teks sastra memiliki
unsure atau struktur batin atau intern structure relation, yang
bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan.
2. Naskah sastra juga
memiliki struktur luas atau extern structure relation, yang
terikat oleh bahasa pengarangnya.
3. Sistem sastra juga
merupakan model dunia sekunder, yang sangat kompleks dan bersusun-susun.
Selanjutnya Teeuw juga menyebutkan tiga cirri khas karya sastra, yaitu sebagi
berikut.
a. Teks sastra merupakan
keseluruhan yang tertutup, yang batasnya ditentukan dengan kebulatan makna.
b. Dalam teks sastra
ungkapan itu sendiri penting, diberi makna, disemantiskan segala aspeknya,
barang atau persoalan yang dalam kehidupan sehari-hari tidak bermakna, diberi
makna.
c. Dalam memberi makna itu
di satu pihak karya sastra terikat oleh konvensi, tetapi di pihak lain
menyimpang dari konvensi. Karya sastra menunjukkan ketegangan antara konvensi
dengan pembaharuan, antara mitos dengan kontra mitos (Teeuw, 1983: 3-5).
Dasar teks drama adalah konflik manusia yang digali
dari kehidupan. Penuangan tiruan kehidupan itu diberi warna oleh penulisnya.
Dunia yang ditampilkan di depan kita (pembaca) bukan dunia primer, tetapi dunia
sekunder. Aktualisasi terhadap peristiwa dunia menjadi peristiwa imajiner itu
seratus persen diwarnai dan menjadi hak pengarang. Sisi mana yang dominan
terlihat dalam lakon, ditentukan oleh bagaimana penulis lakon memandang
kehidupan. Penulisan naskah ada yang menggambarkan sisi baik kehidupan, ada
yang menggambarkan sisi jelek, dan ada pula yang ingin berkhotbah lewat
lakonnya itu.
Konflik manusia biasanya dibangun oleh pertentangan
antara tokoh-tokohnya. Dengan pertikaian itu muncullah dramatic action.
Daya pikat suatu naskah drama ditentukan oleh kuatnya dramatic action ini.
Perkembangan dramatic action dari awal sampai akhir, merupakan
tulang punggung pembangun cerita. Unsur kreativitas pengarang terlihat
dari kemahiran pengarang menjalin konflik, menjawab konflik dengan surprise,
dan memberikan kebaruan dalam jawaban itu. Jika terjadi hal yang demikian, maka
naskah itu memilikisuspense (tegangan) yang menambah daya pikat
sebuah naskah drama.
Untuk memahami naskah secara lengkap dan terinci,
maka struktur drama akan dijelaskan lebih lanjut. Unsur-unsur struktur itu
saling membentuk kesatuan dan saling terikat satu dengan yang lain. Ada yang
menyebut plot sebagai unsure utama, tetapi ada juga yangmenyebut
perwatakan sebagai unsure pembangun struktur yang utama. Memang kedua unsure
tersebut jain-menjalin. Kekuatan plot terletak dalam kekuatan penggambaran
watak, sebaliknya kekuatan watak pelaku hanya hidup dalam plot yang meyakinkan.
1. Plot atau Kerangka Cerita
Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari
awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh
yang berlawanan. Konflik itu berkembang karena kontradiksi para pelaku.
Sifat dua tokoh utama bertentangan, misalnya: kebaikan kontra kejahatan, tokoh
sopan kontra tokoh brutal, tokoh pembela kebenran kontra bandit, tokoh kstaria
kontra penjahat, tokoh bermoral kontra tokoh tidak bermoral, dan sebaginya.
Konflik itu semakin lama semakin meninggi untuk kemudian mencapai titik
klimaks. Setelah klimaks lakon akan menuju penyelesaian.
Jalinan konflik dalam plot itu biasanya meliputi
hal-hal berikut.
a. Protasis atau jalinan awal;
b. Epitasio;
c. Catarsis; dan
d. Catastrophe (Aristoteles).
Menurut Gustaf Freytag unsur-unsur plot ini lebih lengkap, yang meliputi
hal-hal berikut.
a. Exposition (Pelukisan Awal Cerita)
Pada tahap ini pembaca diperkenalkan dengan
tokoh-tokoh drama dengan watak masing-masing.
b. Komplikasi atau Pertikaian Awal
Sebagai kelanjutan dari awal perkenalan tersebut
kemudian berkembang dan mulai ada konflik-konflik kecil. Konflik-konflik itu
kemudian semakin menanjak.
c. Klimaks atau Titik Puncak Cerita
Perkembangan konflik-konflik kecil pada pada tahap
sebelumnya itu selanjutnya menjadi semakin memuncak dan biasanya menjadi
klimaks.
d. Resolusi atau Penyelesaian atau Falling Action
Dalam tahap ini konflik mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan
situasi atau meruncingkan konflik telh menemukan jalan pemecahannya (telah
mati).
e. Catastrophe atau Denoument atau Keputusan
Drama-drama modern akan berhenti
pada klimaks atau resolusi. Drama tradisionalmembutuhkan penjelasan akhir, seperti halnya adegan tancep kayon dalam
wayang kulit. Dalam tahap ini, ada ulasan penguat terhadap seluruh kisah lakon
itu.
Plot dalam drama ada tiga jenis, yaitu sebagai berikut.
a. Sirkuler, artinya cerita berkisar pada
satu peristiwa saja.
b. Linear, yaitu
cerita bergerak secara berurutan dari A-Z.
c. Episode, yaitu
jalinan cerita itu terpisah kemudian bertemu pada akhir cerita.
2. Penokohan
Penokohan erat berhubungan dengan perwatakan.
Susunan tokoh (drama personae)adalah daftar tokoh-tokoh yang
berperan dalam drama itu. Dalam susunan tokoh itu, yang terlebih dulu
dijelaskan adalah adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan
keadaan kejiwaannya itu. Penulis lakon sudah menggambarkan perwatakan
tokoh-tokohnya.
Tokoh antagonis adalah tokoh penentang arus cerita.
Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa figur
pembantu yang ikut menentang cerita. Dalam cerita wayang, tokoh ini dikaitkan
dengan tokoh raksasa yang melawan tokoh utama wayang.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung
cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama dibantu oleh
tokoh-tokoh lainnya yang ikut sebagai pendukung cerita.
Tokoh tritagonis adalah tokoh pembantu, baik untuk
tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis.
3. Dialog (Percakapan)
Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk
cakapan dialog. Dalam menyusun dialog ini pengarang harus benar-benar
memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Pembicaraan
yang ditulis oleh pengarang naskah drama adalah pembicaraan yang akan diucapkan
dan harus pantas untuk diucapkan di atas panggung. Bayangan pentas di atas
panggung merupakan mimetic (tiruan) dari kehidupan
sehari-hari, maka dialog yang ditulis juga mencerminkan pembicaraan
sehari-hari.
Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama adalah
bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hal ini disebabkan karena drama
adalah potret kenyataan. Drama adalah kenyataan yang diangkat ke pentas.
Nuansa-nuansa dialog mungkin tidak lengkap dan akan dilengkapi oleh gerakan,
musik, ekspresi wajah, dan sebaginya, dan dalam hal ini, kesempurnaan sebuah
naskah akan terlihat setelah dipentaskan.
Banyak naskah drama yang sulit dipentaskan karena
dialognya bukan ragam bahasa tutur, tetapi ragam bahasa tulis. Jika pembicaraan
berlaku antara ayah, ibu, dan anak, tentunya digunakan ragam bahasa intim yang
tidak memerlukan kelengkapan bahasa. Jika kalimatnya lengkap, maka dialog ayah,
ibu, dan anak itu tidak akan hidup.
4. Setting/Latar
Setting atau tempat kejadian cerita sering pula
disebut latar cerita. Penentuan ini harus secara cermat sebab drama naskah
harus juga memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Setting biasanya
meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan waktu.
Setting tempat tidak berdiri
sendiri. Derhubungan
dengan waktu dan ruang. Misalnya, tempat di Jawa, tahun berapa, di luar rumah
atau di dalam rumah. Untuk cerita Diponegoro, misalnya, tempatnya jelas di
Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 1825-1830, tempatnya di desa, baik di
dalam rumah maupun di medan gerilya. Dengan rumusan tesebut, kita dapat
membayangkan tempat kejadian dengan hidup. Hal ini berhubungan dengan kostum,
tata pnetas, make up, dan perlengkapan lainnya jika drama ini
dipentaskan.
Setting waktu juga berarti apakah lakon terjadi di
waktu siang, pagi, sore, atau malam hari. Siang atau malam di desa dan di kota akan berbeda
pula keadaannya. Di ruang mana? Di ruang sebuah keluarga modern yang kaya akan
lain dari ruang keluarga tradisional yang miskin. Jadi, waktu juga harus
disesuaikan dengan ruang, dan tempat.
Setting ruang dapat berarti ruang dalam
rumah atau luar rumah, tetapi juga dapat berarti lebih mendetail, ruang yang
bagaimana yang dikehendaki penulis lakon. Hiasan, warna, dan peralatan dalam
ruang akan memberi corak tersendiri dalam drama yang dipentaskan.
5. Tema/ Nada Dasar Cerita
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam
drama. Tema berhubungan dengna premis dari drama tersebut yang berhubungan pula
dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh
pengarangnya. Sudut pandangan ini sering dhubungkan dengan aliran yang dianut
oleh pengarang tersebut.
Pembahasan tentang tema sengaja diletakkan pada
bagian akhir, supaya pembaca dalam membayangkan hubungan tema dengan strutur
dramatik. Dalam drama, tema akan dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot
melalui tokoh-tokoh protagonis dan antagonis denganperwatakan yang menungkinkan
konflik dan diformulasikan dalam bentuk dialog. Dialog tersebut
mengejawantahkan tema dari lakon/ naskah.Semakin kuat, lengkap, dan mendalam
pengalaman jiwa pengarangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan. Tema yang
kuat, lengkap, dan mendalam biasanya lahir karena pengarang berada dalam passion (suasana
jiwa yang luar biasa). Konflik batin dalam drama harus benar-benar dihayati
oleh pengarang.
Dengan tema yang kuat semacam itu, pembaca akan
lebih mudah dan cepat menangkap dan menafsirkan tema yang dimaksud oleh
pengarang. Sebaliknya, jika pengarang kurang kuat, lengkap, dan mendalam
pengalaman jiwanya, maka sulit sekali pembaca menangkap tema yang
dimaksukkan. Struktur dan alur dramatik tidak jelas bagi pembaca.
Drama besar mengemukakan tema yang abadi. Tema yang
abadi biasanya bersifat interpersonal, artinya mengatasi kepentingan individu,
golongan, suku, bangsa, agama, dan kurun waktu. Tema drama besar, diterima di
segala kurun waktu, oleh segala bangsa, pada segala umur dan dalam segala taraf
budaya.
6. Amanat/ Pesan Pengarang
Amanat yang hendak disampaikan pengarang melalui
dramanya harus dicari oleh pembaca atau penonton. Seorang pengarang drama
–sadar atau tidak- pasti menyampaikan amanat dalam karyanya itu. Pembaca cukup
teliti akan dapat menangkap apa yang tersirat di balik yang tersurat. Jika tema
karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya
sastra itu, maka amanat berhubungan dengan makna (significance) dari
karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat
bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda
menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarnkan.
Tema bersifat objektif. Ada drama yang bertema ketuhanan, perikemanusiaan,
cinta, patriotisme, kritik sosial, renungan hidup, dan sebagainya. Amanat yang
hendak disampaiakan oleh pengarang perlu diberikan beberapa alternatif. Di
dalam menafsirkan amant itu, kita dapat bersikap akomodatif (Waluyo, 2003: 28).
Amanat sebuah drama akan lebih mudah dihayati
penikmat, jika drama itu dipentaskan. Amanat itu biasanya memberikan manfaat
dalam kehidupan secara praktis. Jika meminjam isitilah Horace dulce et
utile, maka manta itu menyorot pada masalah utile atau
manfaat yang dapat dipetik dari karya drama itu.
7. Petunjuk Teknis
Dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk teknis,
yang sering pula disebut teks samping. Dalam sandiwara radio, sandiwara
televisi atau scenario film, kedudukan teks samping ini sangat penting. Teks
samping ini memberikan petunjuk teknis tntang tokoh, waktu, suasana pentas,
suara, musik, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialog, warna
suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping ini
biasanya ditulis dengan tulisan berbeda dari dialog (misalnya huruf miring atau
huruf besar semua).
Teks samping juga berguna sekali untuk memberikan
petunjuk kapan aktor harus diam, pembicaraan pribadi, lama waktu sepi antar
kedua pemain, jeda-jeda kecil atau panjang, dan sebagainya. Petunjuk teknis
yang lengkap akan memudahkan sutradara dalam menafsirkan naskah. Petunjuk
watak, usia, dan keadaan sosial aktor/ aktris akan membantu sutradara dalam
menghayati watak secara total, sehingga pemilihan aktor atau aktris dapat lebih
tepat.
C. Klasifikasi Drama
Klasifikasi drama didasarkan atas jenis stereotip
manusia dari tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan. Seorang pengarang
drama dapat menghadapi kehidupan ini dari sisi yang menggembirakan dan
sebaliknya juga dari sisi menyedihkan. Dapat juga seorang pengarang
memberikan variasi antara sedih dan gembira.
Pada abad XVIII ada berbagai jenis naskah drama, di
antaranya adalah lelucon, banyolan, opera balada, komedi sentimental, komedi
tinggi, tragedi borjouis, dan tragedi neoklasik. Selanjutnya berbagai
macam jenis drama itu dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu
sebagai berikut.
1. Tragedi (duka derita)
Tragedi atau drama duka adalah drma yang melukiskan kisah sedih
yang besar danagung.Tokoh dalam tragedy adalah tragic hero artinya
pahlawan yang mengalami nasib tragis. Drama-drama Shakespeare di samping memenuhi
kriteria jenis drama lain juga diklasifikasikan sebagai drama tragedi “Hamlet”,
“Macbeth” dan “Romeo-Yuliet” termasuk drama duka.
Contoh lain dari drama tragedi, misalnya “Mrs. Alving” karya Henrik Ibsen,
“Juno” karya O’Casey, “Robert Mayo” karya O’Neil, “Blanhe du Bois” karya
Williams, dan “Willy Loman” karya Miller.
2. Komedi (drama ria)
Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat
dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan.
Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan
pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang.
Drama komedi ditampilkan tokoh yang tolol, konyol atau tokoh bijaksana
tetapi lucu. Dalam cerita jenaka kita mengenal tokoh-tokoh Pak Pandir, Pak
Belalang, Si Luncai, Musang Berjanggut, Abu Nawas, dan Si Kabayan yang
merupakan tokoh lucu. Dalam contoh-contoh cerita jenaka tersebut kita jumpai
tokoh tolol (bloon) seperti dalam Pak Pandir, Pak Belalang, dan tokoh bijaksana
tetapi lucu seperti Abu Nawas, Musang Berjanggut, dan Si Kabayan.
3. Melodrama
Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita
yang mendebarkan hati dan mengharukaan. Penggarapan alur dan penokohan yang
kurang dipertimbangkan secara cermat, maka cerita seperti dilebih-lebihkan
sehingga kurangmeyakinkan penonton.
4. Dagelan (farce)
Dagelan disebut juga banyolan. Sering kali jenis drama ini disebut dengan
komedi murahan atau komedi picisan atau komedi ketengan.
D. Pembelajaran Apresiasi Drama
Drama adalah salah satu genre sastra yang berada pada dua
dunia seni, yaitu seni sastra dan seni pertunjukan atau teater. Orang yang
melihat drama sebagai seni sastra menunjukkan perhatiannya pada seni tulis teks
drama yang dinamakan juga dengan seni lakon. Teknik penulisan teks drama
berbeda dengan teknik penulisan puisi atau prosa. Orang yang menganggap drama
sebagai seni pertunjukan (teater) fokus perhatiannya ditujukan pada
pertunjukannya atau pementasannya, tidak semata pada teksnya saja. Teks sastra
menurut pandangan mereka hanyalah bagian dari seni pertunjukan yang harus
berpadu dengan unsur lainnya, yaitu: gerak, suara, bunyi, musik, dan rupa.
Bahkan sumber ekspresi seni pertunjukan tidak hanya teks drama melainkan juga
teks-teks lainnya di luar unsur sastra, seperti: teks pidato, pledoi, dan
penyidikan, berita di media massa, esai, dan lain-lain.
Baik drama sebagai karya sastra maupun sebagai bagian dari kelengkapan
teater, teks drama selalu mengarah pada pementasan. Hal inilah yang membedakan genre
sastra drama dengan genre sastra puisi maupun prosa fiksi. Arah terhadap
pementasan itu menyebabkan drama identik dengan pementasan.
Berdasarkan pembelajaran yang ditawarkan, guru dapat merancang pembelajaran
drama yang mengajak siswa beraktivitas dengan kegiatan drama. Misalnya, guru
akan melaksanakan pembelajaran menulis pengalaman yang manarik dalam bentuk
drama. Untuk menulis naskah drama tentunya diperlukan pemahaman tentang
unsur-unsur yang terdapat di dalam teks drama.
Sebagai sebuah teks sastra, drama merupakan suatu genre sastra yang
mempunyai konvensi (kaidah) yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok
besar. Pertama, yang berhubungan dengan kaidah bentuk, yaitu adanya
alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar ruang dan waktu, dan perlengkapan
(sarana). Kedua, yang berhubungan dengan kaidah stilistika, yaitu
bahasa serta dialog yang digunakan sesuai dengan lingkungan sosial, watak yang
diemban tokoh, serta amanat yang disampaikan melalui dialogdialog yang
dikemukakan.
Di sisi lain, Remy Silado mengemukakan, dalam memahami teks drama terdapat
empat kualifikasi yang perlu diperhatikan. Keempat kualifikasi tersebut adalah:
(1) isi dramatik, (2) bahasa dramatik, (3) bentuk dramatik, dan (4) struktur
dramatik.
Isi dramatik adalah gagasan
yang akan dikemukakan dalam drama. Misalnya, “Sepandai-pandai tupai melompat
sekali jatuh juga”. Dari gagasan tersebut, dapat dikembangkan sebuah drama
bagaimana seseorang harus berjalan pada jalan yang benar, tidak sombong, karena
manusia mempunyai kelemahan. Bahasa dramatik adalah bahasa
drama yang digunakan, apakah bahasa prosaik, puitik, atau sosiologik yang akan
digunakan.
Bentuk dramatik adalah ragam
ekspresi, gaya ekspresi, dan plot literer. Ragam ekspresi yang
digunakan secara umum adalah tragedi, komedi, tragedi-komedi, melodrama, dan
banyolan (force). Gaya ekspresi adalah visi dan pandangan penulis yang
penuangannya sesuai dengan paham atau aliran yang dianut pengarang. Plot
literer adalah plot yang terdapat dalam teks drama.
Struktur dramatik adalah perkembangan
antara konflik yang muncul, memuncak, dan berakhir. Penampilan bentuk fisik
teks drama yang berbeda dengan teks pada fiksi adalah dialog. Melalui dialoglah
berkembangnya jalan cerita. Penunjukan tentang latar yang dikehendaki
dituliskan dengan rinci.
Berdasarkan atas pandangan tentang struktur drama, siswa dapat
mengembangkan pengalamannya yang menarik untuk dituliskan menjadi sebuah teks
drama. Mereka bebas memilih tokoh yang akan dituangkan dalam dialognya.
Demikian juga dengan latar yang dikehendakinya. Kebebasan berekspresi dalam
drama akan dapat membangkitkan aktualisasi diri mereka.
E. Ekspresi Drama
1. Beberapa Pelatihan Menulis Naskah Drama
Dengan pengetahuan mengenai konvensi drama dan dengan ditambah keberanian,
kita dapat memulai untuk menulis drama. Berikut ini merupakan pelatihan praktis
yang dimodifikasi dari Moody (1971: 88), yaitu (1) menggali nilai-nila dramatik
(dari drama yang sudah ada), (2) menulis dialog imajiner, dan (3) menciptakan
situasi dramatik dari berbagai sumber.
a. Mengadaptasi, Menyadur, dan Memvisualisasi Drama yang Sudah Ada
Drama yang tersedia di perpustakaan, di toko-toko buku, atau yang dijadikan
bahan kurikulum di sekolah lebih banyak yang “enak” untuk dibaca daripada
dipentaskan. Hal itu disebabkan tidak semua pengarang drama mengetahui
seluk-beluk teater atau pemanggungan, meskipun ketika mereka menulis drama,
benaknya pasti berusaha untuk memvisualisasi panggung. Keadaan ini
mengakibatkan pihak yang akan mementaskan drama, misalnya sutradara, perlu menyunting
terlebih dahulu naskah drama yang akan dipentaskan. Selain itu, antara drama
sebagai karya sastra di satu pihak dan teater di lain pihak merupakan bentuk
seni yang memiliki kekhasan masing-nasing. Dalam teater, naskah drama hanyalah
salah satu unsur teater sehingga kretaivitas sutradara lebih penting daripada
otonomi pengarang drama.
Anggap saja bahwa Anda adalah seorang sutradara yang akan mewujudkan sebuah
naskah drama ke dalam seni pertunjukan. Ada dua buah naskah drama yang menarik
Anda, akan tetapi terdapat dua masalah yang belum terpecahkan. Naskah pertama
merupakan naskah terjemahan dari bahasaasing sehingga belum kontekstual. Naskah
kedua sedikit sekali mencantumkan kramagung atau petunjuk pentasnya sehingga
miskin dengan imajinasi visual. Bagaimana cara memecahkan masalah ini? Agar
kontekstual, naskah pertama dapat Anda adaptasi atau Anda sadur sesuai dengan
konteks zaman dan tempat yang Anda inginkan dan naskah kedua dapat dikonkretkan
dengan lebih memperjelas kramagungnya. Contoh pertama telah kita singgung pada
saat membicarakan Rendra dengan drama Perampok-nya, sedangkan
cohtoh kedua sering kali dilakukan oleh sutradara dalam proses produksinya,
yaitu dengan lebih mengkonkretkan naskah drama dengan floo-rplan (penggambaran
arah gerak pemain) dan promptbook (naskah yang sudah disunting
sesuai dengan keperluan pementasan).
b. Membuat Dialog Imajiner
Latihan menulis pun dapat Anda lakukan dengan membuat dialog imajiner
berdasarkan situasi dramatik yang sangat Anda kenal. Misalnya, Anda membuat dialog
antara dua pihak yang memiliki masalah atau konsep yang bertentangan: para
buruh dengan majikannya, para pemburu dengan pencinta lingkungan hidup, para
pedagang kakilima dengan petugas Tibum atau Satpol P.P., atau dapat juga kita
memecahkan persoalan yang di tinjau dari dua sudut yang berbeda. Di media massa
kadang-kadang terdapat rubrik yang berisi wawancara imajiner dengan tokoh-tokoh
yang sudah meninggal, misalnya wawancara imajiner Christianto Wibisono dengan
Bung Karno. Wawancara itu dibuat karena pengarang (pewawancara) sangat mengenal
subjek yang dibicarakan. Dia tahu betul siapa Bung Karno, apa gagasan dan
filsafatnya.
c. Mendramakan berbagai Sumber yang Mengandung Peristiwa Dramatik
Zaman kita kini adalah zaman informasi. Apabila peristiwa kecil dan remeh
dapat menarik karena dikemas secara apik dalam pemberitaannya, bagaimana dengan
peristiwa besar, seperti jatuhnya pesawat terbang, kudeta berdarah, gempa bumi,
dan meningganya kepala negara? Peristiwa-peristiwa seperti itu tentu dapat Anda
jadikan bahan penulisan drama. Dengan catatan, Anda mesti mampu melihat atau
menemukan peristiwa dramatik di dalamnya. Misalnya, apabila Anda membaca berita
mengenai jatuhnya pesawat terbang Adam Airi atau Garuda, peristiwa dramatik
dapat Anda buat dengan membayangkan bahwa Anda adalah bagian dari penumpang
yang selamat, atau ketika Anda membaca beritaterhentinya pertandingan sepak
bola karena ulah penonton yang berlaku anarki, Anda membayangkan bahwa
Andalah trouble maker-nya sehingga khawatir, cemas, dan takut
berkecamuk di dalam dada.
Sumber pencarian peristiwa dramatik, tentunya tidak hanya berita dalam
surat kabar, majalah, atau televisi, namun segala sumber yang menarik Anda dan
dipandang sebagai potensi dalam memunculkan peristiwa dramatik. Misalnya, esai,
pledoi pengadilan, bahkan profil seorang tokoh dapat mengandung peristiwa
dramatik, terlebih-lebih jika orientasi kita pada pertunjukkan di atas
panggung. Sebagai bukti, kelompok teater di Jakarta, yaitu Teater SAE pernah
menampilkan drama berjudul Pertumbuhan di Meja Makan, yang
naskahnya bersumber dari berbagai tulisan di surat kabar; Wellem Pattirajawane,
seorang aktor dari Teater Kecil, pernah menampilkan monolog yang bersumber dari
buku Indonesia Menggugat karangan Bung Karno, Atau Adi Kurdi,
aktor dari Bengkel Teater Rendra, pernah menampilkan monolog yang bersumber
dari profil dan keberanian Adi Andojo sebagai hakim agung muda.
Namun, kita harus kembali pada tujuan semula, yaitu berlatih menulis drama.
Oleh sebab itu, segala bahan yang dipilih dibaktikan agar Anda terampil menulis
drama, misalnya dengan mengemas bahan itu secara apik ke dalam dialog dan
kramagung, yang kemudian ditata kembali dalam adegan demi adegan serta babak.
2. Memainkan Drama
Untuk sampai pada puncak pementasan drama, setidaknya ada dua tahap yang
harus dilalui, yaitu tahap persiapan dan tahap pelatihan.
a. Tahap Persiapan
(1) Memilih Naskah Drama
Pemilihan naskah drama untuk pementasan bergantung kepada keperluan, namun
hendaknya harus dipertimbangkan dari berbagai segi. Untuk kepentingan hari
besar Islam, misalnya Anda dapat mementaskan drama Masyitoh karya
Ajip Rosidi, Iblis karya Mumammad Diponegoro, atau Ashabul
Kahfi karya Godi Suwarna. Dalam merayakan Hari Kemerdekaan, Anda dapat
memilih drama Nyaris karya N. Riantiarno, Domba-Domba
Revolusi karya B. Soelarto, atau Fajar Sidik karya
Emil Sanosa. Akan tetapi, pemilihan itu pun mesti disesuaikan dengan kondisi
yang ada. Katakanlah, Anda telah sepakat untuk mementaskan drama Masyitoh. Kesepakatan
itu sebaiknya berdasarkan pertimbangan bahwa para pemainnya siap berlatih,
waktu mencukupi, dana tersedia, dan calon penonton, berdasarkan pengamatan
secara umum, akan sangat antusias.
(2) Mendapatkan Izin Penulis
Setiap karya yang diterbitkan biasanya dilindungi oleh undang-undang.
Apabila Anda melanggarnya, maka sama saja dengan melanggar hak cipta orang
lain. Oleh sebab itu, agar tidak mendapatkan sanksi-sanksi di kemudian hari,
alangkah arifnya jika kita mengusahakan izin dari pengarangnya, baik secara
tertulis maupun lisan. Drama-drama yang dibuat untuk kepentingan latihan,
misalnya sebagai pelengkap atau lampiran dalam buku teks atau yang ditampilkan
secara amatir di kelas tidaklah pelu mendapat izin. Akan tetapi, drama untuk
kepentingan pentas yang sifatnya komersial sudah selayaknya dilengkapi dengan
izin pengarang atau penerbit yang mewakilinya.
(3) Memilih Sutradara
Menurut Suyatna Anirun (1987:33-35), sutradara pada hakikatnya adalah
seorang seniman, diplomat, organisator, dan seorang guru, yang berfungsi
sebagai seniman kreatif dan pencipta kondisi kerja teater.
Sebagai seniman kreatif, sutradara berfungsi sebagai penafsir utama naskah,
bertanggung jawab pada penyelesaian bentuk, meramalkan semua kondisi, menguasai
serta mampu menerapkan prinsip-prinsip estetis, seperti masalah ruang dan
bentuk, jarak estetik, dan psikologi apresiasi. Sebagai pencipta kondisi kerja
teater, ia pun bertugas untuk mengkoordinasikan kerja ensambel (bersama),
membantu pemain mewujudkan perannya, dan membantu atau bekerja sama dengan
pekerja lainnya, misalnya pnata artisitik. Untuk mengkonkretkan konsep
artistiknya, sutradara hendaknya membuat ploor-plane yang
merupakan rencana pentas (gambar dari proyeksi skeneri); mengalihkan naskah menjadiprompt-book, yaitu
buku kerja, yang selain sebagai naskah suntingan berfungsi pula untuk mencatat
dan merevisi segala kegiatan selama proses latihan; mengkonkretkan setting,
properties, rias, busana, musik, tata suara, dan efek khusus.
(4) Mempelajari atau Menganalisis Naskah
Sebenarnya, tugas mempelajari dan menganalisis naskah adalah tugas utama
sutradara. Akan tetapi, agar para pemain dan pekerja panggung lainnya dapat
bekerja sama demi keberhasilan pementasan, maka semua pihak dapat memberikan andil
dalam mengutuhkan penafsiran naskah di atas panggung.
Sehubungan dengan menganalisis naskah, Anda dapat saja kembali pada bagian
sebelumnya pada saat kita berbicara tentang konvensi dan kaidah umum drama.
Misalnya, Anda memahami kembali prinsip alur dan struktur drama menurut
Aristoteles. Drama konvensional biasanya dapat ditelaah dengan menggunakan
prinsip Aristoteles, yaitu dengan menemukan bagian eksposisi, konflikasi,
klimaks, resolusi, dan konklusi.
Apabila prinsip Aristoteles sulit diterapkan dalam drama yang akan
dipentaskan, Anda dapat saja menggunakan teori lain. Saini K.M., misalnya,
menawarkan teori atau teknik analis dengan memperlakukan naskah sebagai “pola
peristiwa” (pattern of events).Menurut teori ini, naskah drama
dapat dikelompokkan ke dalam empat pola peristiwa, yaitu (1) pola perubahan,
(2) pola belajar, (3) pola kejayaan dan kejatuhan, dan (4) pola perjuangan
melawan kejahatan.
Dalam pola perubahan, tokoh utama mengalami perubahan baik dalam status,
keadaan, maupun nasibnya. Misalnya, dalam drama Yunanai yang terkenal karya
Sophocles, Tokoh Oeidiphus yang pada awalnya merupakan seorang raja yang gagah
dan terhormat berubah menjadi seorang buta yang terhina. Dalam pola belajar,
tokoh utama mengalami proses belajar dari kondisi tidak tahu, tidak bijaksana
dan keliru menuju ke keadaan yang sebaliknya. Dalam pola kejayaan dan
kejatuhan, misalnya tampak pada drama Ken Arokkarya Saini K.M.
sendiri. Ken Arok yang berjaya dengan membunuh Tunggul Ametung dan mengawini
Ken Dedes akhirnya mesti jatuh tersungkur karena keris Empu Gandring yang
ditusukkan oleh putera Tunggul Ametung. Terakhir, pola perjuangan melawan
kejahatan merupakan pola yang sangat populer dan mudah Anda temukan sebab
masalah yang diusungnya sangat kontras sehingga ibarat membedakan warna hitam
dan putuh. Dengan apa pola peristiwa terwujud? Untuk menjawabnya, Anda tinggal
mengingat bahwa hakikat drama adalah konflik. Karena konflik yang melibatkan
tokoh utama itulah, pola-pola peristiwa muncul, yang kemudian harus Anda
temukan dalam naskah yang Anda analisis.
b. Tahap Pelatihan atau Proses Produksi
Hal-hal yang harus Anda perhatikan pada tahap proses produksi adalah
sebagai berikut:
(1) Mencari bentuk
Pencarian bentuk dilakukan dengan menganalisis naskah drama, membacanya
bersama sehingga dapat memilih peran yang tepat, mewujudkan naskah dalam
gerak (blocking),dan menguasai/menundukkan naskah dan ruang. Di
sinilah sutradara memfungsikan ploor-plane (gambar
berupa rencana pentas) dan prompt-book-nya (naskah drama yang
sudah disunting untuk kepentingan pelatihan) secara optimal. Bagaimana ia
mengatur blocking para pemain sehingga sampai pada blocking yang
tepat. Karena revisi terus dilakukan, sutradara tidak perlu membuat floo-rplane yang
baku. la dapat saja menghapus arah jalan atau keluar-masuk pemain yang telah
ditulisnya di atas floor-plane untuk sampai pada bentuk yang
diinginkan. Demikian pula dengan promt-book. Agar sutradara
dan pemain leluasa menggunakan prompt-book, sebaiknya buku
kerja itu dibuat ke dalam ukuran folio sehingga dapat memuat catatan-catatan
yang diperlukan selama pelatihan berlangsung.
(2) Pengembangan
Pengembangan permainan dilakukan dengan memberi isi, mengembangkan, dan
membangun klimaks. Tentu saja semua dilakukan setelah Anda mengikuti pelatihan
dasar drama, seperti berlatih konsentrasi, imajinasi, emosi, olah vokal, olah
tubuh, dan olah rasa atau sukma. Di bawah ini akan diuraikan panduan yang
dibuat oleh Rendra (1982) dalamTentang Bermain Drama atau Suyatna
Anirun (1979) dalam Teknik Pemeranan. Secara ringkas, panduan
tersebut adalah sebagai berkut:
a) Teknik
muncul; dilakukan agar kita dapat memberikan kesan pertama kepada
penonton secara meyakinkan.
b) Teknik
memberi isi; dilakukan agar kita dapat mengisi kalimat sesuai dengan
tuntutan drama yang dipentaskan, yaitu dengan memberikan tekanan dinamik, nada,
dan tempo secara tepat.
c) Teknik
pengembangan vokal dan tubuh; dilakukan agar permainan kita tidak
datar, tetapi memikat penonton. Pengembangan vokal atau pengucapan dilakukan
dengan menaikkan atau menurunkan volume, tinggi nada, kecepatan tempo suara,
sedangkan pengembangan tubuh dapat dilakukan dengan menaikkan/menurunkan
tingkatan posisi jasmani, berpaling, berpindah tempat, menggerakkan anggota
badan, dan mimik.
d) Teknik
membina puncak dan membangun klimaks; dilakukan agar kita dapat
menahan tingkatan perkembangan sebelumnya (disebut juga dengan teknik menahan),
yaitu dengan menahan intensitas emosi, menahan reaksi terhadap perkembangan
alur, teknik gabungan, teknik permainan bersama, dan teknik penempatan pemain.
e) Teknik
menonjolkan; dilakukan agar kita dapat menonjolkan hasil penafsiran,
terutama dengan teknik dinamika visual yang bersumber dari pengembangan
jasmani.
f) Teknik timing atu
ketepatan waktu; dilakukan agar hubungan waktu antara gerakan jasmani
dan dialog kita berjalan dengan tepat, yaitu dengan melakukan gerakan sebelum,
seiring, atau sesudah katakata diucapkan.
g) Teknik
menakar bobot permainan; dilakukan agar kita bermain secara
proporsional.
h) Teknik
mengatur waktu, irama, tempo, dan jarak langkah; dilakukan agar
permainan tidak kedodoran.
(3) Pemantapan
Dalam proses pemantapan, sutradara harus melakukan koordinasi dan mengatur
tempo serta irama permainan sehingga tampak tidak kedodoran. Hafal naskah
dan blocking belum tentu menghasilkan permainan yang penuh
“greget” dan penuh atmosfer hidup. Oleh sebab itu, sutradara mesti peka dan
mempertajam intuisi dan daya kritisnya sehingga permainan yang mantap dapat
dihasilkan.
(4) Pelatihan umum
Pelatihan umum dilakukan manakala sutradara menganggap naskah yang sedang
digarapnya itu telah layak pentas. Oleh sebab itu, pada latihan umum ini para
pemain harus tampil utuh laiknya bermain di hadapan para penonton.
(5) Pergelaran
Pergelaran atau pementasan merupakan puncak dari pelatihan yang kita
lakukan. Keberhasilan pergelaran sangat bergantung kepada kerja sama serta
kesolidan di antara para pendukungnya. Masalah utama yang dihadapi sutradara
dan pekerja lainnya adalah menghayati dan mengkomunikasikan naskah yang
diusungnya secara artistik. Dengan kata lain, kita harus dapat mengatasi
bagaimana agar naskah sebagai medium verbal sastrawan dapat diterjemahkan,
bahkan diperkuat daya ungkapnya dengan media audio (bunyi vokal dan musik),
visual (bentuk, warna, dan cahaya), dan kinetik (gerak) sehingga penonton dapat
menyerap nilai-nilai pengalaman, baik yang bersifat umum maupun estetik.
Agar sebuah produksi pergelaran terkelola secara rapi dan proporsional,
kita dapat saja menggabungkan para pekerja drama dalam sebuah organisasi.
Misalnya, apabila organisasi itu independen, maka bagannya dapat disusun
seperti berikut, sesuai dengan tawaran dari Taylor (1988:20):
Mei 8th, 2010by mastiah
Oleh: Mastiah
Sudah kukatakan …
Aku tidak suka pelangi
Aku suka bintang
Bukan karena pelangi terlihat lebih feminin
dan bintang lebih maskulin
Bukan …
Jangan kau memaksaku
mengatakan pelangi lebih indah
dan bintang tak lebih indah dari pelangi
Kau tahu …
Aku tidak setuju dengan pendapatmu
Ya…aku tidak setuju
Hei…kenapa kau memerah?
Bukankah berbeda pendapat tak masalah?
Dengar…
Pelangi hanya merah, kuning, hijau
Tidak ada warnaku
Denganku dan warnaku
Pelangi tak pernah bersahabat
Karena itu, aku suka bintang
Bintang membuatku indah
Bintang bersahabat denganku
Bintang tak membuat warnaku hanya hitam
Ya…akulah malam
Bukan…
Aku bukan gelap
Aku malam
Berbeda dengan gelap
Aku suka bintang
Aku tidak suka pelangi
Pelangi hanya merah, kuning, hijau
Tak ada hitam
Mei 4th, 2010by mastiah
Oleh: Purnamawati
Menjelang siang itu
Dari balik tirai
Kutatap rumput hijau pepohonan
Seakan damai tersebar ke relung jiwa ini
Tak lama langit biru menjadi kelam
Awan putih beranjak pergi
Matahari entah ke mana
Dan titik-titik air pun membasahi tanah
Menebarkan bau bumi
Langit ….
Apakah ini sindiran darimu?
Mengapa kau menangis
Seharusnya aku yang mengucurkan air mata
Tangisan pedih
Karena cintaku beranjak pergi
Tetesan kesedihan
Atas nama, hati yang terluka ….
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Mei 4th, 2010by mastiah
Oleh: M. Irfandi
Hutanku tak hijau lagi
Lautku tak biru lagi
Di mana alamku yang dulu
Hutan sudah gundul
Laut sudah tercemar
Di mana hewan akan tinggal
Rinduku pada keindahan
Rinduku pada kemurnian
Di mana kuharus mencari
Semua tinggal kenangan
Semua tinggal harapan
Semua hanya mimpi
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Mei 4th, 2010by mastiah
Oleh: Nova Ayusari
Indah teras dalam hati
Perasaan yang telah aku alami
Mungkinkah ini sebuah cint.
Cinta yang selalu kita alami
Perasaan ini kadang membuat senang
Kadang membuat sedih begitu yang aku alami
Cinta …
Kau akan selalu dalam hati
Menemani hari-hariku
Dalam keadaan suka maupun duka
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Mei 4th, 2010by mastiah
Oleh: Winarno
Kudaku pagi hari kau lari
Siang hari kau lari
Malam hari kau lari
Untuk member nafkah pada tuanmu
Tak pandang panas dan hujan
Kau terus berjuang da bersemangat
Kudaku jasamu tetap kuingat
Sampai akhir hayat
Karena Kaulah penyelamar keluargaku
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Mei 1st, 2010by mastiah
Oleh: Mastiah
Aku kenal dia karena dikenalkan oleh teman kenalanku. “Namaku Bintang”
katanya dengan suara yang datar. “Aku Sunirah,” balasku. Dia gagah, tampan,
kharismatik, bodinya atletis. Dari cara bicaranya mencerminkan bahwa dia pria
yang cerdas. Dia pria idamanku. Sudah satu minggu aku tidak pernah bertemu
dengannya sejak dari perkenalanku yang pertama. Aku kangen.
Hari ini dia janji akan bertemu lagi denganku di tempat ini. Dia
bilang, “bawa juga temanmu biar suasana lebih ramai.” Tapi aku tidak
membawa temanku karena aku ingin berdua saja dengannya, dan aku akan katakan
padanya kalau temanku ada urusan yang tidak bisa ditunda.
Tempat ini sangat sepi, sangat pas untuk berduaan, tetapi sudah satu
jam aku duduk di sini, dia belum datang juga. Apa dia lupa dengan
janjinya? Sudah enam batang rokok aku hisap, dan segelas bir aku habiskan.
Aku gelisah.
Nah… itu dia! Dia tidak mengingkari janji. Dia masih seperti dulu,
seperti pertama aku kenal. Kali ini dia mengenakan jeans biru, kaos hitam yang
dilapisi dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung, sampai kira-kira
lima centimeter di bawah siku dan kancing kemeja yang dibiarkan terbuka.
Aku tertarik.
“Sudah menunggu
lama ya?” Tanyanya dengan suara yang berat . Aku diam saja dan tersenyum tipis.
“ Temanmu
mana?”
“ Ada urusan
yang tidak bisa ditunda.” Jawabku sesuai dengan rencana.
Lalu dia bercerita panjang lebar tentang keadaan politik dan ekonomi di
negara ini. Tampaknya dia khawatir dengan bencana berkepanjangan yang
dialami bangsa Indonesia. Aku lebih banyak diam dan hanya
sesekali mengomentari. Aku lebih senang menyimak dan memperhatikan dia bicara,
aku suka memperhatikan gerak–gerik bibirnya yang mengeluarkan
pendapat-pendapatnya tentang keadaan negara ini yang sebenarnya aku
tak mengerti, dan aku tidak mau ambil pusing. Aku tak peduli.
Bibirnya bagus. Bibir bawahnya tebal tapi tak terlalu tebal, bentuknya jatuh,
tapi tak terlalu jatuh. Bibir atasnya tipis tapi tak terlalu tipis.
Warnanya merah, tidak kecil dan tidak lebar. Indah sekali! Aku bayangkan
berciuman dengannya, bau mulutnya wangi, dia tidak merokok dan tidak minum
alkohol. Dia tidak seperti para lelaki yang sering meniduriku di
hotel berbintang dengan kasur yang empuk. Mulut mereka bau rokok dan alkohol.
Aku muak! Walaupun aku juga merokok dan minum alkohol. Aku benci mereka! Mereka
mengkhianati istri mereka dan anak-anak mereka. Jika bukan karena uang,
tidak akan kulayani nafsu setan mereka.
Aku terus memperhatikan dia berbicara, tak ingin sedikit pun
melepas pandanganku dari menatap wajahnya, terutama bibirnya. Aku
tersenyum, aku geli dengan hasrat yang bergejolak di hatiku. Aku
gila.
Sepertinya dia sadar bahwa aku terus memandanginya dan sepertinya dia
heran dengan senyumku barusan.
“ Ada apa Nir? Ada yang aneh pada diriku?” Dia bertanya
sambil memeriksa penampilannya dan keadaan
sekelilingnya kemudian bercermin di meja tempat menaruh minuman
kami yang kebetulan terbuat dari kaca. Dia tampak kebingungan. Aku tetap
tak melepaskan pandanganku darinya. Aku suka dengan kebingungannya, aku senang
mempermainkan hatinya.
Lalu dia memandangku. Aku menggelengkan kepalaku tanda tidak ada yang aneh,
lalu aku katakan padanya “ Everything is ok!” Agar dia merasa tenang
kembali. Dia tersenyum lega kemudian menghirup kopi yang sedari
tadi tidak pernah disentuhnya.
“ Lalu kenapa?
Kenapa pandanganmu seperti itu kepadaku?”
Aku tersenyum dan menjawab tak sepatah kata pun. Lalu kuberanikan diriku
untukmendekatkan wajahku ke wajahnya. Dekat, semakin dekat, dekat sekali.
Harum mulutnya semakin terasa di penciumanku. Hangat nafasnya semakin
menggetarkan hasratku. Lalu kudekatkan bibirku ke telinganya. Dekat sekali.
Pipi kami bersentuhan dan bibirku menyentuh telinganya, lalu kubisikkan, “Aku
ingin berciuman denganmu!”
“Why?” Dia bertanya lagi dengan suara yang tetap tenang dan
sopan, sepertinya permintaanku itu biasa saja dan bukan permintaan yang amoral.
Aku menjauhkan mulutku dari telinganya dan kembali kudekatkan wajahku ke
wajahnya. Tepat di depan wajahnya, “aku suka kamu.” Kukatakan lirih
padanya. Kami terdiam sejenak. Suasana kafe semakin sepi. Aku mendekatkan
bibirku ke wajahnya, lalu kubuka mulutku pelan-pelan dan kututup mataku
dengan lembut. Aku pasrah! Kutunggu sikapnya, kunanti ciumannya.
“Aku tidak mau!” Ucapnya singkat dengan suara yang datar. Aku tidak
menyangka dengan ucapannya itu, aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku
tidak tahu apa yang aku rasakanapakah malu ataukah jengkel. Dia angkuh! Dia
munafik! Mengapa dia tidak mau, apa dia tidaktertarik padaku. Aku cantik,
tubuhku langsing, putih, mulus, bibirku seksi, bahkan aku primadona di sebuah
hotel berbintang. Para pria hidung belang rela membayar tarif yang sangat
besar untuk tidur denganku. Ah.. dia munafik!
“ Mengapa?”
Tanyaku dengan nada jengkel.
“ Aku sudah
punya istri dan anak.”
“ Lalu?”
“ Aku tidak
ingin mengkhianati istriku dan memberi contoh yang buruk pada anakku.”
“Anak dan istrimu tidak ada di sini, mereka tidak akan bisa melihat
kita.”
“ Tapi Tuhan
melihat kita.” Jawabnya datar.
Ah…omong kosong
dengan jawabannya itu. Aku tak percaya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah ada,
Tuhan hanya khayalan manusia yang sok moralis saja.
“Kalau Tuhan
memang melihat kita, coba tunjukkan padaku.”
“ Prak…” dia menamparku. Keras! Sakit! Aku semakin marah, ingin kukumpulkan
semua kekuatanku untuk melawannya tetapi aku tidak kuasa. Aku ingin
menangis, tetapi aku tidak mau , aku tidak boleh kalah.
“ Mengapa, mengapa kamu menamparku? Kamu marah. Kamu tidak bisa
menunjukkan padaku Tuhanmu itu, Ha! Ha..ha..ha..” Aku tertawa mengejek, geli
sekali rasanya hati ini. Tapi aku sakit, sakit sekali.
“ Bagaimana rasanya? Sakit? Coba tunjukkan padaku mana sakit itu?
bagaimana rupa sakit itu?”
Aku diam.
Kepalaku tunduk. Aku tidak bisa menatap wajahnya. Aku marah, semakin marah. Aku
tak bisa menjawab pertanyaannya itu.
“ Kenapa diam? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku. Kamu tidak bisa
menunjukkan padaku. Itulah Tuhan, Tuhan tidak bisa dilihat, tapi Dia ada dan
hanya bisa dirasakan.”
Bintang pergi setelah memanggil pelayan dan membayar semua pesanan lalu
mengucapkan selamat tinggal padaku, dia pergi berlalu meninggalkanku sendiri
yang tetap diam dan tunduk tak kuasa untuk mengangkat wajahku. Apa benar yang
dikatakannya? Aku bingung, aku tidak tahu. Apa Tuhan bisa dirasakan?
Mengapa aku tidak rasakan itu. Kudiam. Lama aku termenung. Tak terasa air mata
jatuh membasahi wajahku. Aku gelisah, aku malu, aku takut, takut sekali, sebuah
rasa yang pertama kali aku rasakan. Tapi terhadap siapa? Apakah terhadap
Bintang, ataukah terhadap Tuhan?
Nishfu Lail in Desember 2002
April 29th, 2010by mastiah
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - Jakarta, 17 Juli 1994), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).
Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933),
kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan
1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962).
Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia,
Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia,
Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta
(1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang
(1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas
Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Masa Kecil
Ayah STA, Raden
Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani
pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli
reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang
handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan
agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering
disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya,
ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di
luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung,
dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera
setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia
menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal:
Layar Terkembang.
Keterlibatan dengan Balai Pustaka
Setelah lulus
dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di
Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di
Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan
untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi
Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu
dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik
intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan
intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
Karya-karyanya
·
Tak Putus
Dirundung Malang (novel, 1929)
·
Dian Tak
Kunjung Padam (novel, 1932)
·
Tebaran Mega
(kumpulan sajak, 1935)
·
Tatabahasa Baru
Bahasa Indonesia (1936)
·
Layar
Terkembang (novel, 1936)
·
Anak Perawan di
Sarang Penyamun (novel, 1940)
·
Puisi Lama
(bunga rampai, 1941)
·
Puisi Baru
(bunga rampai, 1946)
·
Pelangi (bunga
rampai, 1946)
·
Pembimbing ke
Filsafat (1946)
·
Dari Perjuangan
dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
·
The Indonesian
language and literature (1962)
·
Revolusi
Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
·
Kebangkitan
Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
·
Grotta Azzura
(novel tiga jilid, 1970 & 1971)
·
Values as
integrating vorces in personality, society and culture (1974)
·
The failure of
modern linguistics (1976)
·
Perjuangan dan
Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
·
Dari Perjuangan
dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern
(kumpulan esai, 1977)
·
Perkembangan
Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
·
Lagu Pemacu
Ombak (kumpulan sajak, 1978)
·
Amir Hamzah
Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
·
Kalah dan
Menang (novel, 1978)
·
Menuju Seni
Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
·
Kelakuan
Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
·
Sociocultural
creativity in the converging and restructuring process of the emerging world
(1983)
·
Kebangkitan:
Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
·
Perempuan di
Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
·
Seni dan Sastra
di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
·
Sajak-Sajak dan
Renungan (1987).
Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).
Buku mengenai
STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan
Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun
Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).
Penghargaan
Tahun 1970 STA
menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
STA adalah
pelopor dan tokoh “Pujangga Baru”.
Lain-lain
Sampai akhirnya
hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia
semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia
linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di
Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian
Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan
bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.
April 27th, 2010by mastiah
Karya : Rianti Dewi Rahayu
Risau Hatiku
Ingin selalu bertemu
Anganku melayang
Nafasku berhembus
Tak kulihat tanda kehadiranmu
Ingin rasanya kuteteskan air mata ini
Di saat malam datang
Embun pun mulai turun
Wajahmu seakan ada dibenakku
Ingin kusampaikan lewat angin bahwa aku mengharapkan
kehadiranmu
Rindu hatiku
Akan canda tawamu
Hanya kehadiranmu yang dapat menghibur hatiku
Apakah kamu merasakan
Yang kurasakan saat ini?
Untukmu jantung hatiku
0 komentar:
Posting Komentar